Mohamad Soesilo merancang Blok M, kawasan pertokoan di Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, sebagai wilayah untuk aktivitas niaga murni. Murid
pakar tata kota kesohor Thomas Karsten itu, barangkali tak membayangkan
empat dekade kemudian, bukan cuma uang yang berputar di komplek
tersebut, melainkan juga kebudayaan. Lebih tepatnya, peradaban musik
curian.
Irfan Sembiring, gitaris dan pendiri grup musik trash metal legendaris, Rotor, ingat betul pada periode 1980-an Blok M jadi tujuan muda-mudi seantero Ibu Kota yang ingin mengetahui perkembangan musik dunia mutakhir.
Termasuk, musik-musik barat yang level kebisingannya tak lagi sekadar "ngak-ngik-ngok" bernama metal. Jauh lebih keras dari rock n roll yang disemai pertama kali di bumi pertiwi oleh God Bless atau AKA pada era 1970-an. Namun, patut dicatat, mayoritas kaset di Blok M ilegal lantaran hasil pembajakan.
Dari koleksi rock and roll kanon Barat seperti Rolling Stone dan Led Zeppelin yang dia lahap semasa SMP, hingga mulai naik kelas, menjadi tambah bising dan ekstrem, semua kasetnya didapatkan Irfan di Blok M.
Pria yang kini menekuni jalan hidup dakwah itu tidak paham bagaimana cara para pemilik toko di Blok M cepat sekali mengikuti perkembangan musik di Barat. Contohnya untuk kasus Iron Maiden, grup cadas asal Inggris, yang pada 1986 sedang panas-panasnya di blantika musik dunia, berkat album didapuk jadi puncak artistik gelombang musik metal dari Inggris.
"Album Iron Maiden yang "Somewhere in Time", enggak sampai sebulan keluar di Amerika Serikat, sudah dibajak, selang berapa minggu sudah ada yang mainin, udah ada yang meng-cover di panggung Pid Pub, Pondok Indah," ujar Irfan sambil tergelak saat menjelaskan masa awal perkembangan subkultur metal Indonesia kepada merdeka.com, Jumat (23/8).
Irfan menilai berkat Blok M, wawasan musik anak muda Indonesia tak ketinggalan dari pendengar asli di Amerika atau Eropa, walaupun media massa masa itu sama sekali tak memberi ruang bagi penggemar musik cadas.
"Jadi anak metal seharusnya berterima kasih pada para pembajak," sambungnya lagi, masih sambil terbahak.
Dari peredaran kaset-kaset musik cadas ilegal tersebut, publik Indonesia, termasuk Irfan, mengenal nama yang lebih gahar. Mulai dari Kreator, Sepultura, dan tentu saja, band terbesar dari subgenre trash, Metallica.
Rilisan fisik, khususnya kaset, yang masih jaya pada masa itu, turut membangun loyalitas pendengar musik pada figur-figur metal luar negeri. Karena harganya cukup mahal bahkan untuk kelas menengah sekalipun, banyak anak muda harus menabung sebelum mendengarkan musik yang mereka suka.
Hal ini dituturkan Samack, pendiri situs musik Apokalip sekaligus pengamat skena metal Tanah Air ini. "Format kaset itu otomatis lebih menyempitkan opsi. Dulu satu kaset bisa kita dengerin satu bulan sampai hafal."
Amal jariyah lebih kecil dalam persemaian metal, disumbangkan oleh segelintir media massa yang berani mengulas musik tak populer itu. Pada masa 80-an, Majalah Hai, terbitan Gramedia, dan Majalah Vista, bertindak nyeleneh, lantaran mewartakan perkembangan metal bagi pembaca Indonesia, meski tak dominan.
Baru pada 1990-an, nama besar Metallica yang mengobrak-abrik tangga lagu Billboard, membuat lebih banyak media lain melirik genre musik eksklusif ini.
"Metallica pas besar-besarnya udah di-publish media utama, selain Hai, radio membahas, MTV juga mulai masuk Indonesia," kata Samack.
Subkultur metal di kalangan anak muda, untuk Ibu Kota, semakin terbentuk setelah banyak anak muda nongkrong di Pid Pub, kafe kecil milik Tante Esther yang memberi ruang tampil anak-anak metal. Kebetulan, atribut fisik penggemar musik cadas mudah dikenali, sehingga ikatan solidaritas cepat terbentuk selain karena kesamaan tempat kongkow.
"Kalau elu enggak gondrong, enggak pakai long-sleeve, enggak dianggap (anak metal), ada sih yang masih cepak, tapi tetap enggak diakui," ungkap Irfan.
Pola identifikasi serupa juga muncul di wilayah lain, termasuk Kota Malang, tempat Samack tinggal sepanjang hidupnya. "Zaman-zaman itu, kita bisa nyari teman tongkrongan satu sekolah, ada anak yang pakai kaos Metallica, atau gondrong, pasti memiliki minat selera musik yang sama."
Memasuki masa 1990-an, metal semakin menjadi kultur anak muda. Di Jakarta, sedikit bergeser dari Blok M, yaitu di kawasan Bulungan, mulai muncul komunitas metal. Penggemar yang membeli rilisan fisik band-band tenar dunia, juga terdeteksi makin banyak.
Itu sebabnya, pengusaha Setiawan Djody berani mendatangkan Metallica ke Tanah Air. Sayang, represi Orde Baru, membuat superstar musik jarang datang ke Indonesia. Hal ini, disinyalir menyebabkan kedatangan James Hetfield, dan kawan-kawan pada 1993, menjadi pelampiasan pecinta musik dari aliran apapun. Bahkan, melebihi konser bintang trash metal Brasil, Sepultura, yang sebelumnya sudah mampir setahun sebelumnya.
"Gue ingat banget, pas ngebuka konser Metallica, di bagian depan ada yang goyang ala dangdut. Semua penggemar musik datang di konser itu, anak punk juga nonton. Ada satu mobil isinya 10 orang, yang punya tiket cuma satu, makanya akhirnya pada bakar-bakaran, pada saat itu haus hiburan sih," kenang Irfan soal tragedi konser Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 20 tahun lalu.
Namun, insiden itu tak membuat metal surut. Tentunya berkat keberhasilan beberapa band masuk dapur rekaman, hal yang sebelumnya tak terbayangkan bisa dialami insan musik bising.
Sang pendobrak adalah Roxx yang berhasil rekaman single karena jawara festival rock. Grup speed metal ini, kata Irfan, dikenal publik pada awal 1990 paling jago meng-cover lagu-lagu Metallica.
Kesempatan mencicipi dapur rekaman label arus utama lantas diikuti grupnya sendiri, Rotor, yang berhasil merayu Label AIRO, untuk mengedarkan "Behind the 8th Ball" (1992). Baru kemudian, mantan band Irfan, Sucker Head, pada 1995, menyusul direkrut Aquarius Musikindo.
Dari hitung-hitungan kasar, album pertama Rotor laku 400.000 keping. "Yang bajakan dua kali lipatnya," imbuh Irfan menggambarkan potensi bisnis metal di Indonesia pada 1990-an.
Miris melihat banyak teman-teman metal tak dapat kesempatan rekaman, Irfan menggandeng sobat lamanya, Krisna Sadrach, pentolan Sucker Head, membentuk Rotorcorp. Label kecil, yang dananya semua didapatkan dari Musica Studio, label terkemuka pengusung musik pop.
Dirilislah kemudian seri Metalik Klinik, hingga 9 album, yang membantu memperbesar basis fans musik metal ke seluruh nusantara. Irfan menyebut, masalah musisi metal seangkatannya adalah tak pandai memasarkan diri.
"Kuncinya ke major label itu cuma gimana pinter ngomongnya, karena seri Metalik Klinik laku, Musica mau biayain terus,".
Paruh kedua 1990-an, band-band metal semakin rajin, bahkan bisa dibilang mencapai iklim paling sehat sepanjang sejarahnya di Indonesia. Samack mencatat meski kompilasi 'Metalik Klink' cukup berperan, gairah menegakkan bendera metal memang sedang menggebu-gebu jelang reformasi.
"Akhir 90-an, metal ramai-ramainya, kira-kira antara 1997 sampai 2002, enggak tahu kenapa, pada semangat semua (bikin album)," ujarnya.
Nama besar skena metal saat ini, seperti Betrayer, Death Vomit, Purgatory, dan Burgerkill, juga bersemai di era tersebut. Musik metal di Indonesia nantinya menyambut nasib yang berbeda di abad 21. Khususnya, akibat budaya internet yang mewabah. Namun, panen metal di masa kini, mustahil muncul, jika sebelumnya tak ada pembajakan yang menyemainya di bumi pertiwi.
Irfan Sembiring, gitaris dan pendiri grup musik trash metal legendaris, Rotor, ingat betul pada periode 1980-an Blok M jadi tujuan muda-mudi seantero Ibu Kota yang ingin mengetahui perkembangan musik dunia mutakhir.
Termasuk, musik-musik barat yang level kebisingannya tak lagi sekadar "ngak-ngik-ngok" bernama metal. Jauh lebih keras dari rock n roll yang disemai pertama kali di bumi pertiwi oleh God Bless atau AKA pada era 1970-an. Namun, patut dicatat, mayoritas kaset di Blok M ilegal lantaran hasil pembajakan.
Dari koleksi rock and roll kanon Barat seperti Rolling Stone dan Led Zeppelin yang dia lahap semasa SMP, hingga mulai naik kelas, menjadi tambah bising dan ekstrem, semua kasetnya didapatkan Irfan di Blok M.
Pria yang kini menekuni jalan hidup dakwah itu tidak paham bagaimana cara para pemilik toko di Blok M cepat sekali mengikuti perkembangan musik di Barat. Contohnya untuk kasus Iron Maiden, grup cadas asal Inggris, yang pada 1986 sedang panas-panasnya di blantika musik dunia, berkat album didapuk jadi puncak artistik gelombang musik metal dari Inggris.
"Album Iron Maiden yang "Somewhere in Time", enggak sampai sebulan keluar di Amerika Serikat, sudah dibajak, selang berapa minggu sudah ada yang mainin, udah ada yang meng-cover di panggung Pid Pub, Pondok Indah," ujar Irfan sambil tergelak saat menjelaskan masa awal perkembangan subkultur metal Indonesia kepada merdeka.com, Jumat (23/8).
Irfan menilai berkat Blok M, wawasan musik anak muda Indonesia tak ketinggalan dari pendengar asli di Amerika atau Eropa, walaupun media massa masa itu sama sekali tak memberi ruang bagi penggemar musik cadas.
"Jadi anak metal seharusnya berterima kasih pada para pembajak," sambungnya lagi, masih sambil terbahak.
Dari peredaran kaset-kaset musik cadas ilegal tersebut, publik Indonesia, termasuk Irfan, mengenal nama yang lebih gahar. Mulai dari Kreator, Sepultura, dan tentu saja, band terbesar dari subgenre trash, Metallica.
Rilisan fisik, khususnya kaset, yang masih jaya pada masa itu, turut membangun loyalitas pendengar musik pada figur-figur metal luar negeri. Karena harganya cukup mahal bahkan untuk kelas menengah sekalipun, banyak anak muda harus menabung sebelum mendengarkan musik yang mereka suka.
Hal ini dituturkan Samack, pendiri situs musik Apokalip sekaligus pengamat skena metal Tanah Air ini. "Format kaset itu otomatis lebih menyempitkan opsi. Dulu satu kaset bisa kita dengerin satu bulan sampai hafal."
Amal jariyah lebih kecil dalam persemaian metal, disumbangkan oleh segelintir media massa yang berani mengulas musik tak populer itu. Pada masa 80-an, Majalah Hai, terbitan Gramedia, dan Majalah Vista, bertindak nyeleneh, lantaran mewartakan perkembangan metal bagi pembaca Indonesia, meski tak dominan.
Baru pada 1990-an, nama besar Metallica yang mengobrak-abrik tangga lagu Billboard, membuat lebih banyak media lain melirik genre musik eksklusif ini.
"Metallica pas besar-besarnya udah di-publish media utama, selain Hai, radio membahas, MTV juga mulai masuk Indonesia," kata Samack.
Subkultur metal di kalangan anak muda, untuk Ibu Kota, semakin terbentuk setelah banyak anak muda nongkrong di Pid Pub, kafe kecil milik Tante Esther yang memberi ruang tampil anak-anak metal. Kebetulan, atribut fisik penggemar musik cadas mudah dikenali, sehingga ikatan solidaritas cepat terbentuk selain karena kesamaan tempat kongkow.
"Kalau elu enggak gondrong, enggak pakai long-sleeve, enggak dianggap (anak metal), ada sih yang masih cepak, tapi tetap enggak diakui," ungkap Irfan.
Pola identifikasi serupa juga muncul di wilayah lain, termasuk Kota Malang, tempat Samack tinggal sepanjang hidupnya. "Zaman-zaman itu, kita bisa nyari teman tongkrongan satu sekolah, ada anak yang pakai kaos Metallica, atau gondrong, pasti memiliki minat selera musik yang sama."
Memasuki masa 1990-an, metal semakin menjadi kultur anak muda. Di Jakarta, sedikit bergeser dari Blok M, yaitu di kawasan Bulungan, mulai muncul komunitas metal. Penggemar yang membeli rilisan fisik band-band tenar dunia, juga terdeteksi makin banyak.
Itu sebabnya, pengusaha Setiawan Djody berani mendatangkan Metallica ke Tanah Air. Sayang, represi Orde Baru, membuat superstar musik jarang datang ke Indonesia. Hal ini, disinyalir menyebabkan kedatangan James Hetfield, dan kawan-kawan pada 1993, menjadi pelampiasan pecinta musik dari aliran apapun. Bahkan, melebihi konser bintang trash metal Brasil, Sepultura, yang sebelumnya sudah mampir setahun sebelumnya.
"Gue ingat banget, pas ngebuka konser Metallica, di bagian depan ada yang goyang ala dangdut. Semua penggemar musik datang di konser itu, anak punk juga nonton. Ada satu mobil isinya 10 orang, yang punya tiket cuma satu, makanya akhirnya pada bakar-bakaran, pada saat itu haus hiburan sih," kenang Irfan soal tragedi konser Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 20 tahun lalu.
Namun, insiden itu tak membuat metal surut. Tentunya berkat keberhasilan beberapa band masuk dapur rekaman, hal yang sebelumnya tak terbayangkan bisa dialami insan musik bising.
Sang pendobrak adalah Roxx yang berhasil rekaman single karena jawara festival rock. Grup speed metal ini, kata Irfan, dikenal publik pada awal 1990 paling jago meng-cover lagu-lagu Metallica.
Kesempatan mencicipi dapur rekaman label arus utama lantas diikuti grupnya sendiri, Rotor, yang berhasil merayu Label AIRO, untuk mengedarkan "Behind the 8th Ball" (1992). Baru kemudian, mantan band Irfan, Sucker Head, pada 1995, menyusul direkrut Aquarius Musikindo.
Dari hitung-hitungan kasar, album pertama Rotor laku 400.000 keping. "Yang bajakan dua kali lipatnya," imbuh Irfan menggambarkan potensi bisnis metal di Indonesia pada 1990-an.
Miris melihat banyak teman-teman metal tak dapat kesempatan rekaman, Irfan menggandeng sobat lamanya, Krisna Sadrach, pentolan Sucker Head, membentuk Rotorcorp. Label kecil, yang dananya semua didapatkan dari Musica Studio, label terkemuka pengusung musik pop.
Dirilislah kemudian seri Metalik Klinik, hingga 9 album, yang membantu memperbesar basis fans musik metal ke seluruh nusantara. Irfan menyebut, masalah musisi metal seangkatannya adalah tak pandai memasarkan diri.
"Kuncinya ke major label itu cuma gimana pinter ngomongnya, karena seri Metalik Klinik laku, Musica mau biayain terus,".
Paruh kedua 1990-an, band-band metal semakin rajin, bahkan bisa dibilang mencapai iklim paling sehat sepanjang sejarahnya di Indonesia. Samack mencatat meski kompilasi 'Metalik Klink' cukup berperan, gairah menegakkan bendera metal memang sedang menggebu-gebu jelang reformasi.
"Akhir 90-an, metal ramai-ramainya, kira-kira antara 1997 sampai 2002, enggak tahu kenapa, pada semangat semua (bikin album)," ujarnya.
Nama besar skena metal saat ini, seperti Betrayer, Death Vomit, Purgatory, dan Burgerkill, juga bersemai di era tersebut. Musik metal di Indonesia nantinya menyambut nasib yang berbeda di abad 21. Khususnya, akibat budaya internet yang mewabah. Namun, panen metal di masa kini, mustahil muncul, jika sebelumnya tak ada pembajakan yang menyemainya di bumi pertiwi.
Berdakwah lewat metal berkat buku orang nasrani
Wajahnya dihiasi janggut tak terlalu panjang, meski lebat. Dari
kupluk warna hitam yang dia kenakan, tersembul warna putih menghiasi
rambut cepaknya, menandakan usia tak lagi muda.
Sosok Irfan Sembiring yang mengenakan gamis panjang dari pundak hingga lutut warna cokelat, langsung mengucap salam, ketika kami bertemu di restoran cepat saji, dekat pusat perbelanjaan terbesar Cinere, Depok, Jawa Barat, selepas salat Jumat, (23/8). Dia ditemani dua kawan, bernama Syarief dan Rendra, berparas dan berbusana tak jauh beda.
"Mereka berdua juga dulunya anak metal loh, cuma sekarang sudah murtad saja," ujarnya sambil terkekeh kepada merdeka.com.
Bagi masyarakat awam, mereka bertiga lebih akrab disebut pengamal jamaah tabligh. Orang yang berdakwah dari desa ke desa, kampung ke kampung, biasanya berjalan kaki. Nyaris tak ada tanda bahwa dulu mereka menggeluti musik cadas.
Pria kelahiran Surabaya 2 Maret 1970 ini, dulu kerap berkeliling masjid seputaran Jakarta-Bogor. Namun, beberapa tahun belakangan, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdakwah di Cinere dan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Irfan merupakan pendiri band trash metal, Rotor, yang legendaris di kancah musik keras Tanah Air. Band yang berdasarkan nama, diharapkan menghasilkan musik bising bagai baling-baling pesawat ini, merupakan buah karyanya selepas keluar dari Sucker Head, pionir musik metal Jakarta pada 1988.
Di masa jayanya, Rotor berhasil menjual ratusan ribu keping album. "Kami dulu raja dirajanya metal, orang pasti mengenal Rotor, paling enggak tahu namalah," ungkapnya.
Berbekal percaya diri tinggi, khususnya setelah sukses membuka konser Metallica pada 1993, Irfan bersama dua kawannya yakni Judapran dan Jodie, yang kini sudah almarhum mengadu nasib ke Amerika Serikat. Mereka bernazar harus jadi tenar seperti panutan mereka, Sepultura, asal Brasil yang sukses mendunia.
Semangat itu, kenang Irfan, langsung pudar saat melihat daftar musisi metal yang sudah rekaman di Kantor Pusat Billboard, di California. "Kalau saya tidak salah ingat, ada 6.000 band metal yang terdaftar sudah rekaman, itu baru California saja. Semuanya lebih unik, dan lebih keren dari Rotor."
Selama 1993-1995, karena seret manggung di Negeri Paman Sam, Irfan dan kawan-kawan terpaksa kerja serabutan. Saban setengah tahun mereka balik ke Indonesia, lantaran visa tak boleh diperpanjang di sana.
Sampai 1997, Rotor masih meramaikan kancah trash metal di Indonesia, total 4 album mereka hasilkan di bawah naungan pelbagai label rekaman. Menyerah dalam usaha menaklukkan Amerika, Irfan sempat banting setir jadi produser, ketika merancang kompilasi "Metalik Klinik" bersama sobat lamanya di Sucker Head, Krisna Sadrach.
Di tengah aktivitas memproduksi musik, gebyar blantika metal dan kisah hidup musisi Barat, membikin Irfan merenung. Dia menyebut, saat itu kerap berpikir lantaran punya cita-cita sederhana, harus jadi orang sukses.
"Gue perhatiin waktu di Amerika, kehidupan musisi sukses enggak enak, terutama matinya enggak ada yang enak. Gue terus mencari-cari, jalan hidup yang paling sukses jadi apa," kenangnya.
Di tengah pencarian itu, pada April 1997, matanya tak sengaja tertuju buku di rak toko buku terkemuka Jakarta. Judulnya "The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History" dikarang Michael H. Hart. Irfan terkejut, dalam daftar itu, nama Muhammad ditahbiskan jadi orang nomor satu paling berpengaruh sejagat.
"Ini buku yang mengarang dari namanya beragama Nasrani, paling enggak non-muslim, tapi urutan pertama Muhammad, berarti orang ini fair," katanya.
Berbekal buku itu, dia yakin, Muhammad adalah orang paling sukses di dunia dan harus ditiru. Sayang, dalam buku Hart, ulasan soal rasulullah hanya 20 halaman.
Semangat 45, dia mencari guru yang bisa menunjukkan jalan mengikuti cara hidup Nabi Muhammad. Hasil ikut pengajian ke sana sini, dia akhirnya mantab mengikuti pola keagamaan jamaah tabligh pada 1998, hasil pesantren kilat 3 hari di Jakarta Selatan. Dari sana, dia mengaku ketagihan dakwah, termasuk berguru hingga India dan Pakistan.
Segala ingar bingar duniawi dilepas, termasuk aktivitas bermusiknya. Padahal, rekannya di jamaah itu tak ada yang memaksanya berhenti menekuni dunia metal.
Sosok Irfan Sembiring yang mengenakan gamis panjang dari pundak hingga lutut warna cokelat, langsung mengucap salam, ketika kami bertemu di restoran cepat saji, dekat pusat perbelanjaan terbesar Cinere, Depok, Jawa Barat, selepas salat Jumat, (23/8). Dia ditemani dua kawan, bernama Syarief dan Rendra, berparas dan berbusana tak jauh beda.
"Mereka berdua juga dulunya anak metal loh, cuma sekarang sudah murtad saja," ujarnya sambil terkekeh kepada merdeka.com.
Bagi masyarakat awam, mereka bertiga lebih akrab disebut pengamal jamaah tabligh. Orang yang berdakwah dari desa ke desa, kampung ke kampung, biasanya berjalan kaki. Nyaris tak ada tanda bahwa dulu mereka menggeluti musik cadas.
Pria kelahiran Surabaya 2 Maret 1970 ini, dulu kerap berkeliling masjid seputaran Jakarta-Bogor. Namun, beberapa tahun belakangan, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdakwah di Cinere dan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Irfan merupakan pendiri band trash metal, Rotor, yang legendaris di kancah musik keras Tanah Air. Band yang berdasarkan nama, diharapkan menghasilkan musik bising bagai baling-baling pesawat ini, merupakan buah karyanya selepas keluar dari Sucker Head, pionir musik metal Jakarta pada 1988.
Di masa jayanya, Rotor berhasil menjual ratusan ribu keping album. "Kami dulu raja dirajanya metal, orang pasti mengenal Rotor, paling enggak tahu namalah," ungkapnya.
Berbekal percaya diri tinggi, khususnya setelah sukses membuka konser Metallica pada 1993, Irfan bersama dua kawannya yakni Judapran dan Jodie, yang kini sudah almarhum mengadu nasib ke Amerika Serikat. Mereka bernazar harus jadi tenar seperti panutan mereka, Sepultura, asal Brasil yang sukses mendunia.
Semangat itu, kenang Irfan, langsung pudar saat melihat daftar musisi metal yang sudah rekaman di Kantor Pusat Billboard, di California. "Kalau saya tidak salah ingat, ada 6.000 band metal yang terdaftar sudah rekaman, itu baru California saja. Semuanya lebih unik, dan lebih keren dari Rotor."
Selama 1993-1995, karena seret manggung di Negeri Paman Sam, Irfan dan kawan-kawan terpaksa kerja serabutan. Saban setengah tahun mereka balik ke Indonesia, lantaran visa tak boleh diperpanjang di sana.
Sampai 1997, Rotor masih meramaikan kancah trash metal di Indonesia, total 4 album mereka hasilkan di bawah naungan pelbagai label rekaman. Menyerah dalam usaha menaklukkan Amerika, Irfan sempat banting setir jadi produser, ketika merancang kompilasi "Metalik Klinik" bersama sobat lamanya di Sucker Head, Krisna Sadrach.
Di tengah aktivitas memproduksi musik, gebyar blantika metal dan kisah hidup musisi Barat, membikin Irfan merenung. Dia menyebut, saat itu kerap berpikir lantaran punya cita-cita sederhana, harus jadi orang sukses.
"Gue perhatiin waktu di Amerika, kehidupan musisi sukses enggak enak, terutama matinya enggak ada yang enak. Gue terus mencari-cari, jalan hidup yang paling sukses jadi apa," kenangnya.
Di tengah pencarian itu, pada April 1997, matanya tak sengaja tertuju buku di rak toko buku terkemuka Jakarta. Judulnya "The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History" dikarang Michael H. Hart. Irfan terkejut, dalam daftar itu, nama Muhammad ditahbiskan jadi orang nomor satu paling berpengaruh sejagat.
"Ini buku yang mengarang dari namanya beragama Nasrani, paling enggak non-muslim, tapi urutan pertama Muhammad, berarti orang ini fair," katanya.
Berbekal buku itu, dia yakin, Muhammad adalah orang paling sukses di dunia dan harus ditiru. Sayang, dalam buku Hart, ulasan soal rasulullah hanya 20 halaman.
Semangat 45, dia mencari guru yang bisa menunjukkan jalan mengikuti cara hidup Nabi Muhammad. Hasil ikut pengajian ke sana sini, dia akhirnya mantab mengikuti pola keagamaan jamaah tabligh pada 1998, hasil pesantren kilat 3 hari di Jakarta Selatan. Dari sana, dia mengaku ketagihan dakwah, termasuk berguru hingga India dan Pakistan.
Segala ingar bingar duniawi dilepas, termasuk aktivitas bermusiknya. Padahal, rekannya di jamaah itu tak ada yang memaksanya berhenti menekuni dunia metal.
"Guenya aja yang lebay, padahal enggak ada yang nyuruh berhenti, tapi semuanya, termasuk bisnis, ditinggal total."
Soal perilaku sebelum mendalami agama, Irfan enggan menjelaskan detail. Seperti biasanya digambarkan media, kehidupan rockstar, termasuk di Indonesia, kerap diwarnai gaya hidup liar. Tak jarang melibatkan alkohol dan narkoba dosis tinggi. Nyawa dua rekannya di Rotor, diduga kuat terenggut akibat pola hidup binal itu.
Pria yang kini dikarunia empat anak dari seorang istri itu hanya menyebut, masa-masa sebagai musisi metal serupa berada di selokan bau.
"Ibaratnya gue 20 tahun di comberan, heboh, ketika habis dakwah, kayak dibawa ke penthouse hotel bintang lima," tuturnya sambil tertawa lepas.
Selain keliling dakwah, kini Irfan sehari-hari mencari nafkah dari bisnis multilevel marketing. Selain itu, keputusan besar dia buat pada 2009, yaitu kembali menekuni metal.
Irfan menyebut area restoran waralaba Amerika tempat kami bersua, menjadi "kantornya" untuk urusan bisnis, atau dalam bahasanya, perkara duniawi. Termasuk menjual CD dan merchandise Rotor.
"Gue enggak mau ribet, buat urusan dunia, di sini aja, Allah pun mengatakan, 'Aku tidak suka hambaku bersusah payah, untuk sesuatu yang sudah kutetapkan'," ungkapnya.
Soal keputusannya kembali ke jalur metal, Irfan mengaku semata-mata agar mudah berdakwah kepada rekan sesama musisi. Jika dia hanya menjalani bisnis MLM, sulit bertemu teman-temannya yang dulu aktif di kancah metal.
"Gue kasihan sama teman musisi yang tiap hari latihan, akhir pekan ngeband, terus manggung, kasihan besok mati, gimana mau bikin report ke Allah. Enggak bisa elu laporan, 'ya Allah, saya sudah bikin sekian album' enggak bakal diterima."
Namun, Irfan mengaku sekadar menjadi rocker pasif. Dia tak pernah sengaja mencari job untuk manggung. Band yang dihidupkan lagi ini pasrah saja bila ada yang mengundang. Tak heran sejak 2009, baru tiga kali Rotor tampil live. Album baru pun masih molor, sudah terkumpul 8 lagu, tapi belum dilempar ke pasaran.
Berbeda dengan aliran metal "satu jari" yang politis dan sedang tren di Indonesia kiwari, Irfan enggan memberi pesan-pesan tertentu ke lagunya yang baru. Dia mengaku, mencomot saja ayat Alquran dalam bahasa Inggris ke dalam karyanya yang masih kental bercorak metal. Misalnya, dia contek persis surat Al Kafirun, untuk lagu "Infidel".
Dia juga tak risih jika dianggap ambigu karena tetap menganggap bermusik itu haram. Menurutnya, lantaran dilandasi niat utama berdakwah kepada sesama musisi dan penggemar metal, dosanya "balik ke metal" bakal diampuni Tuhan.
"Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima balasannya," ucapnya menyitir surat Az-Zalzalah ayat 7-8 di kitab suci.
Selepas ashar, saya berpamitan. Meninggalkan Irfan di "kantornya", bertemu seorang rekan bisnis.
Sampai waktu belum ditentukan, bisa dipastikan, mantan raja metal ini mudah ditemui di dua lokasi bertolak belakang: masjid dan restoran cepat saji. Irfan yakin hidupnya selepas mendalami dakwah tak bakal berubah. Metal hanya salah satu medan yang kini coba ia taklukkan dalam rangka menyeru manusia kembali pada Tuhan.
"Target jangka pendek itu ya dunia ini, mati. Jangka panjang, ya surga nanti," ungkapnya dengan senyum tersungging, sebelum kami berpisah meneruskan hari masing-masing.
Soal perilaku sebelum mendalami agama, Irfan enggan menjelaskan detail. Seperti biasanya digambarkan media, kehidupan rockstar, termasuk di Indonesia, kerap diwarnai gaya hidup liar. Tak jarang melibatkan alkohol dan narkoba dosis tinggi. Nyawa dua rekannya di Rotor, diduga kuat terenggut akibat pola hidup binal itu.
Pria yang kini dikarunia empat anak dari seorang istri itu hanya menyebut, masa-masa sebagai musisi metal serupa berada di selokan bau.
"Ibaratnya gue 20 tahun di comberan, heboh, ketika habis dakwah, kayak dibawa ke penthouse hotel bintang lima," tuturnya sambil tertawa lepas.
Selain keliling dakwah, kini Irfan sehari-hari mencari nafkah dari bisnis multilevel marketing. Selain itu, keputusan besar dia buat pada 2009, yaitu kembali menekuni metal.
Irfan menyebut area restoran waralaba Amerika tempat kami bersua, menjadi "kantornya" untuk urusan bisnis, atau dalam bahasanya, perkara duniawi. Termasuk menjual CD dan merchandise Rotor.
"Gue enggak mau ribet, buat urusan dunia, di sini aja, Allah pun mengatakan, 'Aku tidak suka hambaku bersusah payah, untuk sesuatu yang sudah kutetapkan'," ungkapnya.
Soal keputusannya kembali ke jalur metal, Irfan mengaku semata-mata agar mudah berdakwah kepada rekan sesama musisi. Jika dia hanya menjalani bisnis MLM, sulit bertemu teman-temannya yang dulu aktif di kancah metal.
"Gue kasihan sama teman musisi yang tiap hari latihan, akhir pekan ngeband, terus manggung, kasihan besok mati, gimana mau bikin report ke Allah. Enggak bisa elu laporan, 'ya Allah, saya sudah bikin sekian album' enggak bakal diterima."
Namun, Irfan mengaku sekadar menjadi rocker pasif. Dia tak pernah sengaja mencari job untuk manggung. Band yang dihidupkan lagi ini pasrah saja bila ada yang mengundang. Tak heran sejak 2009, baru tiga kali Rotor tampil live. Album baru pun masih molor, sudah terkumpul 8 lagu, tapi belum dilempar ke pasaran.
Berbeda dengan aliran metal "satu jari" yang politis dan sedang tren di Indonesia kiwari, Irfan enggan memberi pesan-pesan tertentu ke lagunya yang baru. Dia mengaku, mencomot saja ayat Alquran dalam bahasa Inggris ke dalam karyanya yang masih kental bercorak metal. Misalnya, dia contek persis surat Al Kafirun, untuk lagu "Infidel".
Dia juga tak risih jika dianggap ambigu karena tetap menganggap bermusik itu haram. Menurutnya, lantaran dilandasi niat utama berdakwah kepada sesama musisi dan penggemar metal, dosanya "balik ke metal" bakal diampuni Tuhan.
"Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima balasannya," ucapnya menyitir surat Az-Zalzalah ayat 7-8 di kitab suci.
Selepas ashar, saya berpamitan. Meninggalkan Irfan di "kantornya", bertemu seorang rekan bisnis.
Sampai waktu belum ditentukan, bisa dipastikan, mantan raja metal ini mudah ditemui di dua lokasi bertolak belakang: masjid dan restoran cepat saji. Irfan yakin hidupnya selepas mendalami dakwah tak bakal berubah. Metal hanya salah satu medan yang kini coba ia taklukkan dalam rangka menyeru manusia kembali pada Tuhan.
"Target jangka pendek itu ya dunia ini, mati. Jangka panjang, ya surga nanti," ungkapnya dengan senyum tersungging, sebelum kami berpisah meneruskan hari masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar sopan saya segan.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.