Reporter : Ardyan Mohamad Sabtu, 24 Agustus 2013 14:02:00
Sumber
Musik metal mulai menurun pamornya pada awal abad 21. Dalam artian,
rilisan fisik tak terlalu banyak muncul, meski dari segi aktivitas
komunitas, jumlahnya cenderung stabil.
Samack, pengamat musik
metal yang aktif di Malang, Jawa Timur, menyebut surutnya album metal,
untungnya diimbangi intensitas konser pelaku musik cadas di daerah.
"Kalau konser sejak tahun 2000-an meningkat, bahkan di Malang hampir
tiap minggu ada gigs kecil," ujarnya saat dihubungi merdeka.com, Kamis
(22/8).
Fanatisme penggemar metal yang kokoh terbentuk pada
1990-an, disinyalir menjadi salah satu biang kerok stagnasi skena.
Setidaknya itu yang dialami Aditya Saputra, pelaku sekaligus penikmat
metal asal Jakarta. Sebab, musik cadas ini jadi jalan di tempat, karena
ada kaum-kaum puritan yang tidak suka perubahan dalam karya metal di
Tanah Air.
"Terutama dalam inovasi karya. Gig-gig besar isinya
cuma band-band yang itu lagi itu lagi. Kalaupun ada band baru ya dengan
style genre yang gitu-gitu saja. Padahal di luar negeri perkembangan
musik metal udah kemana-mana," keluhnya.
Internet, menjadi
penyebab lain kemunduran metal dari segi penjualan fisik. Kemudahan
mengunduh lagu yang disuka, walau sebetulnya ilegal, membuat kaset dan
CD mati suri. Namun, "kemunduran" ini hanya berlaku untuk pihak yang
ingin membisniskan metal dengan skala masif.
Bagi komunitas independen, kondisi sekarang malah lebih sehat. Sebab, hulu hingga hilir skena metal jelas alurnya.
"Kalau
(1990-an) industrinya belum teraba, kalau sekarang ngerilis kelihatan
yang beli berapa walau cuma 100 biji. Bikin merchandise laku, bisa
konser, sekarang uangnya lebih banyak atau paling enggak dapat profit,"
ungkap Samack.
Internet pula, bagi Samack, yang menggerus level
fanatisme di periode 2009 ke atas. Pendengar metal di pelbagai kota
Indonesia justru semakin meluas segmennya. Sebelum abad 21, mustahil
anak punk bersedia mendengar musik metal. Kini, bermunculan pula musisi
metal yang mau melakukan inovasi dengan mencampur musiknya dengan genre
lain.
"Anak metal sekarang suka Efek Rumah Kaca (band
alternatif-red), post rock, sekarang lebih terbuka berani eksplor (musik
lain) karena referensi lebih banyak, efek paling besar ya karena
internet," ujarnya.
Saat ini, subgenre metal yang sedang naik
pamor di Indonesia adalah sludge ataupun post-metal. Jenis musik metal
itu, memberi ruang bagi eksplorasi bunyi, tak sekadar menggeber distorsi
secepat dan sekencang mungkin seperti zaman kejayaan trash metal atau
heavy metal pada 90-an.
SSSLOTHHH, Vallendusk, dan Ghaust, untuk
menyebut beberapa nama, kini jadi raja baru, menyejajarkan diri dengan
senior metal lokal macam Death Vomit atau Burgerkill.
Aditya
percaya, semakin beragam pelaku musik metal yang tampil di
panggung-panggung, maka dampaknya akan bagus bagi perkembangan musik ini
di masa depan. "Gue setiap dateng ke gig metal berharapnya bisa dapet
macam-macam rasa. Yang isinya band-band metal segar," tandasnya.
Riuh
rendah lain skena metal Tanah Air adalah perpecahan kubu. Beberapa
tahun terakhir, muncul aliran metal satu jari, sebuah tawaran konsep
musik cadas bernuansa Islami yang diserukan Ombat, pentolan band
Tengkorak.
Dalam beberapa kasus, aliran ini menyerukan agenda
lebih politis, seperti penolakan invasi Israel di Palestina. Seringkali,
penggemar musik metal biasa kerap berseteru dengan mereka.
Irfan
Sembiring, musisi trash metal senior di Indonesia, tak mau ambil pusing
dengan perseteruan aliran "satu jari" - melambangkan tauhid sekaligus
sebutan bagi penikmat musik metal islami - dengan penggemar metal
konvensional.
Pria yang saban hari berkeliling masjid untuk
dakwah ini menyebut perkembangan metal ke daerah yang kini masif, lebih
patut diapresiasi. Sebab, dakwah dan melakoni jalan hidup metal,
merupakan dua hal berbeda.
"Dulu metal eksklusif, sekarang
desa-desa, kecamatan, sudah ada basis metal. Soal metal satu jari, ya
gini aja, dakwah kalau mengikuti cara nabi mendatangi orang, dari rumah
ke rumah, bukan lewat musik," paparnya.
Tesis serupa diserukan
Aditya. Dia berharap, aliran apapun, ideologis maupun tidak, idealnya
bersatu demi perkembangan metal. "Di skena mustinya semuanya melebur.
Enggak peduli dari latar belakang apapun. Dari yang relijius sampai
penyembah tabung gas semuanya ya mustinya nyatu. Bersenang-senang
bareng," serunya
Dengan segala onak dan duri tersebut, Samack
yakin metal akan tetap lestari. Hanya saja, dia mengingatkan bahwa
sejatinya, metal selalu merupakan musik dengan segmen pasar tertentu.
Jangan dibayangkan album metal bakal laku jutaan keping seperti album
pop.
Kuncinya, adalah anak muda. Selama jiwa muda yang ingin
tawaran musik berbeda ada di negara ini, maka metal, dari aliran apapun,
bakal selamanya tumbuh dan berkembang.
"Metal pasarnya masih
ada, meskipun enggak pernah membesar, enggak akan mengecil juga. Karena
musiknya cenderung keras, cocok buat anak muda, apalagi usia muda,
ngerasanya harus ngedengerin musik yang lebih keras, masuknya di situ,"
ujar Samack yakin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar sopan saya segan.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.