13 Mei 2013

Ulasan: Forgotten, "Laras Perlaya"

  Di Sadur dari  :
 
 
 
 
 
Pendahuluan: Ulasan ini telah dicetak untuk Paper Zine edisi ke-8 Desember kemarin. Dimuat kembali untuk tujuan dokumentasi.
Album ini datang satu paket dengan sebuah novel. Untaian cerita yang digarap oleh sang biduan, Addy Gembel. Terlepas dari pemaknaan rangkaian kata-kata yang membentuk-bangun ruang sebuah dimensi cerita, mengulas album ini berarti juga mengulas sastra selain dari pada musik itu sendiri. Artinya, memaknai album ini adalah juga memaknai apa yang hendak Addy Gembel utarakan dari judul ke judul cerita, dan antara “Bubuka” hingga “Pusara Beku” yang menjadi penanda berakhirnya rotasi CD. Tentunya Forgotten bukan Addy seorang. Perannya yang menonjol itu, baik yang ia sadari atau tidak, menciptakan Forgotten yang hanya Addy. Bukan Toteng, Gan Gan, Dicky, atau Rifki’13. Pula sebagaimana kita bercerita tentang almarhum Homicide yang hanya ada Ucok disitu. Bukan Aszi, Sarkasz, Lephe, dan E-One.
Bukan masalah besar. Kerja kolektif mereka berhasil menciptakan karya paling otentik budaya pembangkangan dari skena Bandung. Forgotten adalah pembangkang moral paling konsisten dari yang pernah ada. Sebagaimana awal kemunculannya di Ujung Berung hingga 17 tahun mengibarkan bendera, mereka masih setia menjadi penyeru paling pedas bagi kebudayaan yang hampir membusuk karena produk-produk miskin makna, bahkan yang tanpa makna. Produk-produk yang semakin lumrah kita konsumsi hari ke hari guna mengejawantahkan perihal identitas kita sebagai makhluk sempurna. Sempurna di depan kasir dan sempurna di depan Tuhan. Mereka yang kemudian bertaruh, siang dan malam, sembari terus merapal ayat-ayat dan pujian-pujian kepada Tuhan sebagai pelumas asa. Bahkan disaat mereka cuci tangan dari darah. Darah yang membeceki istana mereka dari koloni gembel dan jelata.
Inilah epos satirnya manusia dari Forgotten. Dengan dilengkapi doa-doa di abad pembusukan, membuat manual yang diotorisasi oleh negara menjadi miskin makna. Ia dirancang amat begitu gundah dengan bermuatan sesak gemuruh amarah di tiap riff dan konstannya rentetan snare. Menciptakan Laras Perlaya yang bermakna ‘tembang kematian’, menjadi serapah koloni yang telah dicampakkan oleh dewa. Khayangan yang demonik. Roman dan tragedi, cinta dan kebencian, juga tuhan dan setan. “Bubuka” yang berfungsi sebagai gerbang khayal memasuki khayangan menjalani tugasnya begitu mulia. Ia mengantarkan kita pada kengerian dalam perjalanan kita menelusuri setapak lajur menuju khayangan. Dimana ia menyediakan kita surga dan juga neraka. Kita tahu bahwa kita sesungguhnya enggan untuk beranjak. Namun ternyata kita dipaksa oleh situasi yang kelak kudu mengorbankan dan menggadaikan apa yang kita punya. Harga diri dan mimpi, tak terkecuali.   
Senarai tembang dan rangkaian kata yang merefleksikan sebuah perjalanan menuju khayangan. Sebuah perjalanan untuk kematian itu sendiri. Karena sejatinya kita terlahir, sejatinya pula kita sedang dalam perjalanan untuk mangkat. Sungguh tragis. Sebut saja sang dewa Theos, yang juga berperan sebagai penjaga pintu surga itu. Atau nama-nama lain semisal Lilith, putri dari Theos dan Dewi Leto yang akhirnya meninggalkan segala gemerlap nirwana dan memilih pekarangan neraka bersama sang penjaga gerbangnya, Kobal. Hal ini dirancang amat ironis pada perkamen pengantar Laras Perlaya yang ternyata sudah Addy selesai tulis sejak 2008. Tutur bahasanya begitu jujur, lugas, dan miris. Kalimat-kalimat yang ia gunakan dalam novel ini kelak menjadi manifestasi dari lirik-lirik singkat yang terdapat dalam album ini. Menjadikan “Hajar Jalanan” hingga “Pusara Beku” tak sekedar jargon atau slogan-slogan simbol kekerenan belaka.

Sedari “Musim Panas Menghitam”, tokoh antagonis sudah menjelma dengan sendirinya tanpa perlu kita tafsir berulang-ulang. Ia menyerupa dunia yang hari ini kita tempati dengan segala ampas hidup. Dari rentenir, makelar, korporasi, dan dunia yang tragis. Dibuka dengan dialog makhluk berbekal sapu terbang dan penjaga warung dengan gambaran suasana yang dingin, pagi, dan sekejap menghangat. Mereka bertukar embun dengan menghamburkan kata yang tak jua membebaskan sang Kurcaci bertudung hitam, si pengendara sapu terbang. Pagi yang amat revolusioner. Celoteh sang pemilik warung, Moksa, dengan sengnya yang doyong tersebut, mampu membangun imaji resureksionis diantara jejaring kosmis yang berkelindan lewat bagaimana sang penulis membentuk dimensi cerita.
Dibalik medan wacana antara Moksa dan Kurcaci tersebut, saya teringat tentang apa yang dikatakan Evey Hammond (Tokoh utama dalam film V For Vendetta). Ia mengatakan bahwa “Seniman menggunakan kebohongan untuk mengungkap kebenaran” sebagai negasi dari, “Politisi memakai kebohongan untuk menutupi kebenaran”. Sekarang, hal tersebut kudu dikonfrontir dengan debat yang muluk dari Moksa dan Kurcaci: “Hey, seniman bukan bebas berekspresi tapi bebas menipu. Atas nama estetika dan makna semua hasil karya adalah pundi-pundi berharga...”. Sampai disini, dunia kita sesak akan hal apapun itu yang dapat menjadi seonggok seni. Bahkan tahi anjing menggulung bak obat nyamuk dengan disoroti cahaya temaram, kemudian ditempatkan dalam sebuah galeri milik kurator terkemuka maka, kun fayakun! Jadilah ia sebuah seni.
Post-modern adalah juga sengkarut benda-benda yang ‘biasa’ kita temui dapat beralih makna menjadi barang seni. Ia direpresentasikan ke dalam bentuk lain. Direproduksi menggunakan bungkus dan enviromental. Dari sini juga makna itu hilang, kandas tak berbekas. Ia hanya akan menjadi komoditi seperti, “...Atas nama estetika dan makna semua hasil karya adalah pundi-pundi berharga...”. Kata “...berharga” sendiri merupakan penekanan akan sesuatu dengan barcode dan label yang menggantunginya. Bukan malah sebuah ‘arti’ atau ‘makna’. Karena, estetika itu sendiri yang akhirnya menuntut untuk memberangus makna dari produk, dari aktivitas, dari apapun yang kita lakukan di dunia. Sebagai penegas, saya akan mengutip penggalan syair Boombox Monger milik Homicide: “...Yang mereproduksi Walter Benjamin ke tangan setiap seniman Keynesian//Yang mensponsori festival insureksi dengan molotov cap Proletarian”.
Fragmen pertama ini berakhir dengan rasa penasaran. Tentang kelanjutan si Kurcaci beserta mimpinya untuk memberontak kembali, dan sang Moksa, yang pensiun dari bisnis merakit molotov sebagai hadiah untuk musuh-musuhnya. Kelak, dalam perjalanan kita menelusuri kata demi kata, kita disuguhi roman penuh keringat antara desahan cinta dan lumernya raga. “Resital Selangkangan”, sebagai kisah vulgar yang diketengahkan sang penulis untuk masuk ke alam batin yang menuntut keterbukaan, kejujuran, dan nol kemunafikan. Darinya, kita belajar untuk berkomunikasi sejernih mungkin, sejujur mungkin, dan memanusiakan manusia sebagaimana mestinya. Cinta yang tercipta antara dua makhluk dengan upaya meruntuhkan tembok pembatas moralitas pajangan yang dilembagakan untuk pemasukan negara. Membebaskan dirinya dalam sentuhan yang paling intim sekaligus magis.
“Resital Selangkangan” sendiri merubah dirinya menjadi “Resital Apokalips”. Ia mewujud Forgotten sekarang, bukan ego seorang Addy lagi yang telah mumpuni memeras saripati kehidupan dan mengejawantahkan secara terang namun dengan disisipi imaji gelap disana-sini. Majas-majas yang ultra ironis, dan siapa yang gagal memahami Forgotten, maka ia akan terjerumus dalam selangkangan yang sama dan tipikal yakni: Satanis. Karena sejatinya Laras Perlaya datang, novel pun menjadi pelengkap tafsir yang berupa fragmen-fragmen yang kelak menjadi kesatuan utuh langgam demi langgam. Seperti syair, “Jangan cari aku di surga//Makna ku hanya metafora”, adalah petuah yang sama yang dimuntahkan dari seorang Al-Hallaj. Bahwa eksistensi berarti jua ketiadaan. Ketiadaan adalah keberadaan.
Sesudah bubuka, tanpa jeda kita langsung menghajar aspal selama 3:10 detik. “Hajar Jalanan”, bersama bass line yang meliuk-liuk untuk kemudian menari bersama dengan sedikit magis tarawangsa di tengah-tengah part yang diapit teriakan gahar dari bung Addy Hamdi. Tanpa perlu tedeng aling-aling, segala patron dan tetet-bengeknya adalah manual pengukuh hegemoni kuasa. Mereka yang mengenyam sarjana, tentu kudu gablek duit. Tega nian dan jelas-jelas standarisasi kelayakan dan kesejahteraan terlahir dari seberapa lama kita mengenyam bangku sekolah. Semakin tinggi dan semakin panjang nama kita dengan gelar, maka semakin nyaman lah ia. “Pendidikan raja tega//Hanya milik kaum kaya”,begitu progresif disuarakan. Cetak biru paling mutakhir dari progresif metal hari ini. Bisa jadi sebuah awal untuk melahirkan prog metal folk dikemudian hari.
Yang paling frontal adalah transformasi epik dari Kobal dan Lilith di negeri dongeng untuk menjadi pembangkang garda depan. Ia mentah-mentah meludahi patronasi seperti di “Surga Metafora”, “Bantai Patronasi”, dan “Tuhan Profane”. Mereka rela menjadi sempalan rezim yang tengah berkuasa, baik dibalik mewahnya surga dan getirnya neraka, dan kisah suram para penghuni alam manusia di pelataran tak juga neraka, tak juga surga. Gaya bahasa yang penulis utarakan pun ternyata tak menemui paceklik metafor saat para sempalan rezim ini menghunus kalam kepada trias politica. Tiga pilar politik, demokrasi, dan negara. “Trias Demonica”, seperti menjembatani makna di syair “Barisan lapar//usung trisula” pada “Hajar Jalanan” dengan “Aparat//Birokrat//Korporat//Trias Demonica” dimana ketiga gagang tajam pada trisula yang diusung itu sudah menemui targetnya masing-masing dengan amat-sangat-telak.
Laras Perlaya ditutup dengan khidmat yang mengawang selama 06:32 detik. “Pusara Beku”, mengalun begitu ritmis. Membangun struktur rapi alam transendental, jembatan antara sylabus otak kanan dan kiri, membuka gerbang vortex kita, untuk kemudian memasuki perlahan alam personal di pojokan hati seorang Addy. Ia yang telah melewati kurun waktu, getir dan puritan sekaligus menjadi manusia seutuhnya. Mengingat saat ia menjalani kritis karena penyakit yang dideritanya, terkadang membuat lagu ini menjadi nada refleksi tersendiri – terlepas dari semua anggapan. Sisanya, hanya keheningan, dan sayup-sayup tarawangsa berbaur petikan jentreng yang semakin menipis dan terus hilang dibalik keheningan. Tanda klimaks dari distorsi dan mega yang mendentum. Berbarengan dengan kelahiran yang juga kematian, Requiem Tanpa Nisan.
Dalam The Birth of Tragedy, Nietzsche pernah berujar. “Musik, melambangkan sebuah ruang yang melampaui dan mendahului semua fenomena”. Syahdan, struktur nada pada Laras Perlaya adalah juga buah yang ranum hasil riwayat dari tokoh-tokoh yang menghiasi rangkaian cerita di Laras Perlaya. Sebuah album secadas marmer menghitam ini dimulai oleh kesunyian, tarawangsa mengawang, petikan repetitif, minor-datar-fade out-minor dan dijumpai tom-tom yang rancak. Pertanda tragedi akan lahir. Dan sebagaimana ia lahir, tragedi itu pun ditutup oleh nada yang mengalun persis sebagaimana tragedi tersebut terlahirkan. Ia telah melampaui apa yang oleh orang yakini sebagai takdir, sebagai ketidakmungkinan. Hidup, karenanya jika bukan sebuah tragedi, maka – kembali mengutip Nietzsche – sebuah gambaran yang seolah-olah dialami sendiri, yang sebenarnya dia tempatkan dalam sebuah konsep. Konsep itu bernama kehidupan, dengan langgam tentang sebuah akhir dimana kita sendiri yang kudu menentukannya. Bukan nasib, takdir, malaikat terlebih aparat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar sopan saya segan.

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.