Diary Untuk Langit
Disaat melody elegy berputar di kepalaku dan memaksa semua sel otakku untuk mengingat rekaman masa lalu. Mimpi, harapan hingga perasaan yang terlalu abstrak untuk dirasakan. Ini tentang Langit. Ini tentang kita. Dan berjuta-juta detik yang lalu masih hangat untuk diingat. Aku merindukan sosok Langit dan masih merindukan kehadirannya.
Aku masih menunggu ketika segala elemen waktu dan alam berpihak pada kebersamaan kami. Seperti tiga atau empat tahun yang lalu.
Kami adalah teman semasa SMA. Aku mulai mengenal Langit di kelas XI karena keberbedaannya dalam berpikir. Dia juga orang yang baik. Dia pemimpi sejati yang pernah kutemui dan mungkin karena inilah kami selalu bersama.
Miara,
“Langit tungguin dong.” Teriakku
“bisa nggak sih jalan pake kecepatan cheetah gitu. Dasar putri keong.”
“iya-iya ini mau kemana sih?” tanyaku
“ke perpus Ra. Cari artikel astro terbaru.” Jawabnya santai
“itu kan nggak masuk mata pelajaran.” Tanyaku
Tapi ia hanya tersenyum. Langit penggila sains yang terobsesi dapet nobel award atau jadi bagian dari NASA ini memang semangatnya nggak pernah pudar. Persis pejuang kemerdekaan deh.
Kami duduk di salah satu sudut perpustakaan dengan bangku kayu. Disini sangat tenang. Aku suka penataan dan suasana perpustakaan ini. Jauh dari modern sih tapi untuk kelengkapan bukunya jangan ditanya deh. Makanya Langit suka banget mengerami buku di tempat ini. Aku mulai membuka halaman pertama novel The best of me. Dan dia _ kalian pasti sudah bisa menebaknya.
“kan akhirnya ada fakta alam yang ngebuktiin relativitas.” Dia mulai ngoceh.
“astronomi?” tanyaku
“iyalah Ra. Semenjak teori relativitas muncul banyak orang yang nggak percaya sama teorinya Einstein itu baru-baru ini aja NASA mulai bikin project buat nyelidikin lebih lanjut.” Jelasnya
“emang apaan sih? Kok aku nggak pernah tau.” tanyaku
“yee kamu mah mana tertarik baca beginian Ra. Palingan novel yang melankolis-melankolis gitu. Suka bikin pusing bacanya.”
“idih, itu opini sepihak yang bener-bener ngawur.” Kataku sebal.
“ini tentang geodesi sama frame-dragging. Jadi kayak jumlah struktur ruang-waktu yg terpilin akibat rotasi suatu massa.”
Aku mulai bingung. “terus intinya apa?”
“jadi bumi itu seakan-akan terbenam pada suatu benda seperti madu Ra.”
Aku mikir keras. Tapi memang sepertinya tidak tahu apa maksud Langit.
“kamu bingung Ra? udah nggak usah terlalu dipikirin.” Katanya santai
Aku pun sebenarnya tertarik dengan fisika atau ilmu alam lainnya tapi mungkin kemampuan otakku sulit untuk sekedar memahami gerak benda jatuh dari atas pohon.
Kami suka menghabiskan waktu ke toko buku, ke perpustakaan atau ke parangtritis – seperti hari ini hanya untuk melihat sunset atau kalau lagi beruntung bisa melihat evening triangle.
“Langit kenapa sih kamu terobsesi banget sama nobel? kan banyak orang yang nggak percaya atau mungkin mencibir mimpi kamu.” Tanyaku
Dia masih memegang kamera dan melihat hasil jepretan langit yang mulai berwarna jingga. “Kamu tahu kenapa orang Indonesia belom pernah ada yang dapet nobel?” dia bertanya padaku
“enggak.” Aku menggeleng
“karena mereka takut bermimpi Ra. Mereka cuman mencibir mencela pemimpi yang punya sejuta impian. Padahal yang dibutuhkan pemimpi itu cuman support.” Jelasnya.
“iyasih.” Kataku
“nah makanya Ra. Aku nggak pedulii orang bilang apa. Yang ngejalanin mimpi kan kita bukan mereka. So it’s shouldn’t be a lame.
Itulah Langit. Aku mungkin harus menjadikannya salah satu panutan untuk meraih mimpiku sendiri. Langit benar selama kita percaya dan berusaha segala ketidakmungkinan akan menjadi mungkin.
Beberapa bulan sebelum kelulusan seluruh warga sekolah mendapat berita, Langit mendapat beasiswa dari MIT untuk teknik fisika. Mungkin ada seorang guru yang mengirimkan hasil penelitian karya ilmiahnya atau mungkin ada pihak swasta yang mengajukan beasiswa untuk siswa yang juara astronomi nasional ini. Atau mungkin ini saatnya doa-doa Langit dikabulkan.
Aku sangat bangga padanya dan juga merasa sedih. Aku akan merindukan saat-saat kebersamaan kita Langit. Kebersamaan kita ke sunmor, membaca buku di hutan UGM, bersepeda ke Parangtritis untuk melihat sunset dan juga ocehan sainsmu. Semoga sel-sel tubuhku mampu beradaptasi tanpa kehadiranmu nanti.
Hari itu menjelang senja di hari kelulusan kami bersepeda ke Parangtritis seperti biasanya. Aku tidak tahu berapa lama hingga waktu membawa kita kesini lagi. Langit berdiri beberapa meter dariku – masih dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel kusam itu.
Sejauh ini kami tidak pernah mempermasalahkan status hubungan kami. Kebersamaan saja sudah cukup. Tapi besok, lusa atau beberapa tahun ke depan mungkin semuanya tidak akan lagi sama seperti biasanya. Air mataku jatuh, aku akan selalu merindukan ini Langit.
“Miara kamu tahu isu tentang bintang Vega yang katanya bakal gantiin Polaris?” tiba-tiba ia menoleh ke arahku. Aku menggeleng.
“buat aku kamu itu Polaris Ra, nggak akan ada bintang yang bisa gantiin Polaris. Meskipun Vega sekalipun. Dan kamu tahu itu artinya apa?” ia tersenyum.
Aku menghapus air mataku “meskipun Polaris bakal hancur, meledak karena reaksi fusi mereka terlalu lemah. Polaris tetep hidup buat kamu?” tanyaku mengeja. Sekali lagi ia hanya tersenyum.
Semoga, semoga selamanya tetap begitu, Langit.
Yogyakarta, malam ini.
Aku menutup buku agenda yang selalu mencatat ketidakhadiran Langit disini. Juga berpuluh-puluh halaman diary tentang dia. Di saat aku melihat ke arah langit utara samar-samar terlihat konstelasi bintang tujuh yang menunjukkan arah Polaris. Dan itu dia. Polaris dengan cahayanya yang terang. Seolah memberiku sebuah jawaban. Tetaplah berharap. Langit, cepatlah kembali.
Cerpen Karangan: Erika Andini
Disaat melody elegy berputar di kepalaku dan memaksa semua sel otakku untuk mengingat rekaman masa lalu. Mimpi, harapan hingga perasaan yang terlalu abstrak untuk dirasakan. Ini tentang Langit. Ini tentang kita. Dan berjuta-juta detik yang lalu masih hangat untuk diingat. Aku merindukan sosok Langit dan masih merindukan kehadirannya.
Aku masih menunggu ketika segala elemen waktu dan alam berpihak pada kebersamaan kami. Seperti tiga atau empat tahun yang lalu.
Kami adalah teman semasa SMA. Aku mulai mengenal Langit di kelas XI karena keberbedaannya dalam berpikir. Dia juga orang yang baik. Dia pemimpi sejati yang pernah kutemui dan mungkin karena inilah kami selalu bersama.
Miara,
“Langit tungguin dong.” Teriakku
“bisa nggak sih jalan pake kecepatan cheetah gitu. Dasar putri keong.”
“iya-iya ini mau kemana sih?” tanyaku
“ke perpus Ra. Cari artikel astro terbaru.” Jawabnya santai
“itu kan nggak masuk mata pelajaran.” Tanyaku
Tapi ia hanya tersenyum. Langit penggila sains yang terobsesi dapet nobel award atau jadi bagian dari NASA ini memang semangatnya nggak pernah pudar. Persis pejuang kemerdekaan deh.
Kami duduk di salah satu sudut perpustakaan dengan bangku kayu. Disini sangat tenang. Aku suka penataan dan suasana perpustakaan ini. Jauh dari modern sih tapi untuk kelengkapan bukunya jangan ditanya deh. Makanya Langit suka banget mengerami buku di tempat ini. Aku mulai membuka halaman pertama novel The best of me. Dan dia _ kalian pasti sudah bisa menebaknya.
“kan akhirnya ada fakta alam yang ngebuktiin relativitas.” Dia mulai ngoceh.
“astronomi?” tanyaku
“iyalah Ra. Semenjak teori relativitas muncul banyak orang yang nggak percaya sama teorinya Einstein itu baru-baru ini aja NASA mulai bikin project buat nyelidikin lebih lanjut.” Jelasnya
“emang apaan sih? Kok aku nggak pernah tau.” tanyaku
“yee kamu mah mana tertarik baca beginian Ra. Palingan novel yang melankolis-melankolis gitu. Suka bikin pusing bacanya.”
“idih, itu opini sepihak yang bener-bener ngawur.” Kataku sebal.
“ini tentang geodesi sama frame-dragging. Jadi kayak jumlah struktur ruang-waktu yg terpilin akibat rotasi suatu massa.”
Aku mulai bingung. “terus intinya apa?”
“jadi bumi itu seakan-akan terbenam pada suatu benda seperti madu Ra.”
Aku mikir keras. Tapi memang sepertinya tidak tahu apa maksud Langit.
“kamu bingung Ra? udah nggak usah terlalu dipikirin.” Katanya santai
Aku pun sebenarnya tertarik dengan fisika atau ilmu alam lainnya tapi mungkin kemampuan otakku sulit untuk sekedar memahami gerak benda jatuh dari atas pohon.
Kami suka menghabiskan waktu ke toko buku, ke perpustakaan atau ke parangtritis – seperti hari ini hanya untuk melihat sunset atau kalau lagi beruntung bisa melihat evening triangle.
“Langit kenapa sih kamu terobsesi banget sama nobel? kan banyak orang yang nggak percaya atau mungkin mencibir mimpi kamu.” Tanyaku
Dia masih memegang kamera dan melihat hasil jepretan langit yang mulai berwarna jingga. “Kamu tahu kenapa orang Indonesia belom pernah ada yang dapet nobel?” dia bertanya padaku
“enggak.” Aku menggeleng
“karena mereka takut bermimpi Ra. Mereka cuman mencibir mencela pemimpi yang punya sejuta impian. Padahal yang dibutuhkan pemimpi itu cuman support.” Jelasnya.
“iyasih.” Kataku
“nah makanya Ra. Aku nggak pedulii orang bilang apa. Yang ngejalanin mimpi kan kita bukan mereka. So it’s shouldn’t be a lame.
Itulah Langit. Aku mungkin harus menjadikannya salah satu panutan untuk meraih mimpiku sendiri. Langit benar selama kita percaya dan berusaha segala ketidakmungkinan akan menjadi mungkin.
Beberapa bulan sebelum kelulusan seluruh warga sekolah mendapat berita, Langit mendapat beasiswa dari MIT untuk teknik fisika. Mungkin ada seorang guru yang mengirimkan hasil penelitian karya ilmiahnya atau mungkin ada pihak swasta yang mengajukan beasiswa untuk siswa yang juara astronomi nasional ini. Atau mungkin ini saatnya doa-doa Langit dikabulkan.
Aku sangat bangga padanya dan juga merasa sedih. Aku akan merindukan saat-saat kebersamaan kita Langit. Kebersamaan kita ke sunmor, membaca buku di hutan UGM, bersepeda ke Parangtritis untuk melihat sunset dan juga ocehan sainsmu. Semoga sel-sel tubuhku mampu beradaptasi tanpa kehadiranmu nanti.
Hari itu menjelang senja di hari kelulusan kami bersepeda ke Parangtritis seperti biasanya. Aku tidak tahu berapa lama hingga waktu membawa kita kesini lagi. Langit berdiri beberapa meter dariku – masih dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel kusam itu.
Sejauh ini kami tidak pernah mempermasalahkan status hubungan kami. Kebersamaan saja sudah cukup. Tapi besok, lusa atau beberapa tahun ke depan mungkin semuanya tidak akan lagi sama seperti biasanya. Air mataku jatuh, aku akan selalu merindukan ini Langit.
“Miara kamu tahu isu tentang bintang Vega yang katanya bakal gantiin Polaris?” tiba-tiba ia menoleh ke arahku. Aku menggeleng.
“buat aku kamu itu Polaris Ra, nggak akan ada bintang yang bisa gantiin Polaris. Meskipun Vega sekalipun. Dan kamu tahu itu artinya apa?” ia tersenyum.
Aku menghapus air mataku “meskipun Polaris bakal hancur, meledak karena reaksi fusi mereka terlalu lemah. Polaris tetep hidup buat kamu?” tanyaku mengeja. Sekali lagi ia hanya tersenyum.
Semoga, semoga selamanya tetap begitu, Langit.
Yogyakarta, malam ini.
Aku menutup buku agenda yang selalu mencatat ketidakhadiran Langit disini. Juga berpuluh-puluh halaman diary tentang dia. Di saat aku melihat ke arah langit utara samar-samar terlihat konstelasi bintang tujuh yang menunjukkan arah Polaris. Dan itu dia. Polaris dengan cahayanya yang terang. Seolah memberiku sebuah jawaban. Tetaplah berharap. Langit, cepatlah kembali.
Cerpen Karangan: Erika Andini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar sopan saya segan.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.