About My Self
17 Agustus 2013
Ratna dan Senja (Love, Circumstances and Loyalty)
Ratna dan Senja (Love, Circumstances and Loyalty)
dreamanzie
Suasana senja terlihat jelas dari jendela kamar Ratna yang berada di lantai 2 dari rumah kayu itu. Bagaikan melihat angkasa lepas beserta bintang tanpa teropong, alangkah bangganya kita melihat keindahan yang diciptakan Tuhan, yang dapat kita nikmati secara gratis. Cahaya orange bercampur merah, Ya Tuhan, itu bukti kalau Engkau adalah Maha dari segala hal. Leonardo DaVinci hanya 1 butir debu bagimu. Atau mungkin, 1 butir debu kemudian dipecahkan menjadi 9 butir debu dalam hal melukis.
Mata indah Ratna seolah-olah tersenyum lebar memandang suasana pedesaan yang terlihat jelas dari jendela kamarnya. Wajahnya yang cantik meski sudah berumur 58 tahun, mungkin jadi bahan perbincangan burung-burung yang sedang bertengger di pohon rindang itu, karena terdengar kicauan burung itu yang saling menyahut. Kebun jambu dan ladang jagung yang luas tetapi belum berbuah, membuat dia termakan oleh kenangan. Terlebih lagi saat dia melihat sebuah gubuk di sebuah sawah milik tetangga, dia menangis.
“Sore istriku, aku bawa sesuatu untukmu. Aku harap kamu suka”.
Suami Ratna tiba-tiba memeluk mesra tubuhnya yang duduk di kursi roda sejak tadi, sambil meletakkan sebuah kantong plastik putih di pangkuan Ratna.
Ratna hanya membalas dengan matanya yang damai dan bahagia luar biasa. Bisa jadi itu ungkapan terimakasih. Tapi siapa yang bisa membedakannya, hanya suaminya lah yang mengerti.
“Ayolah, jangan menangis lagi. Lihat diri kita Ratna. Rambutku sudah memutih semua. Rambutmu juga. Kulitku sudah mengelupas, kamu juga. Jika kamu harus bersedih mengingat kebersamaan yang dulu sangat enerjik, kamu telah salah jika menuangkannya selalu dalam tangisan”.
Ratna diam, tetap memandang pemandangan desa lewat jendela, sambil menggenggam tangan suaminya yang sudah selama ini setia mendampinginya dari muda sampai tua seperti ini, dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau begitu, sebelum aku memberitahukan apa yang aku bawa untukmu ini, aku ingin sekali bercerita denganmu tentang apa yang kita lalui selama ini. Suka, duka, kecewa, putus asa, harapan dan banyak sekali kenangan indah yang kita lalui bersama-sama sampai sejauh ini”.
Ratna mengacungkan jempol kirinya, menandakan dia juga ingin sekali mendengar Suaminya itu bercerita.
“Aku hanya terbawa suasana senja yang membuatku teringat sesuatu yang indah-indah sebelumnya. Kemudian aku selalu memejamkan mata dan kamu selalu menggenggam tanganku seperti ini. Ya, disaat senja seperti ini. Kamu ingat?”.
Suaminya berbicara dengan senyuman yang menyegarkan hati siapapun yang melihatnya.
“Apalagi disaat kamu jarang berbicara akhir-akhir ini, aku jadi rindu masa-masa indah yang kita jalani dulu. Namun bukan maksudku untuk mengira masa-masa sekarang ini tidak indah. Bahagiaku justru bertambah karena kita bisa bersama-sama sampai sosok kita benar-benar berubah menjadi orang tua. Dan kita masih menerima 1 sama lain. Aku sungguh bangga mengenalmu, Istriku.
Masih ingat tidak, saat aku menabrakmu di perpustakaan sekolah sampai 7 buku yang sedang kamu pegang itu jatuh ke lantai semua?”
Suaminya memandang Ratna dengan senyum lepas memperlihatkan gigi palsunya yang putih.
“Aku tidak menyangka itu bisa menjadi momen yang tidak pernah bisa aku lupakan sampai saat ini. Ya, seragam putih abu-abu adalah kenangan kita yang tidak akan pernah sirna dari pikiran. Aku rasa kamu juga begitu kan Ratna?”.
Ratna tetap terdiam, sepertinya asyik sekali mendengar suaminya bercerita tentang kehidupan di masa lalu.
“Setelah kejadian itu, aku selalu termenung di jendela kamarku, terutama saat senja seperti ini. Karena aku merasakan ada sebuah arti dari pertemuan pertama kita, entah itu hanya perasaan yang wajar karena kita masih sama-sama beranjak dewasa atau benar-benar keyakinan dari hati yang paling dalam. Tetapi yang ku tahu, perasaan ini terus melekat, enggan untuk melepaskan diri.
Setiap di sekolah, aku selalu menanti kamu lewat depan kelasku saat bel istirahat. Setelah kamu lewat, aku diam-diam mengikutimu dari belakang, dan terus berusaha untuk tidak terlihat olehmu. Mengapa aku lakukan itu? Karena kamu tahu kan, aku begitu penakut, pemalu dan pendiam. Apalagi dengan perempuan yang cantik sepertimu. Semua laki-laki menyukaimu sepertinya. Dengan rambut lurus pendek sebahu, warnanya hitam pekat menunjukkan rambutmu terawat dan sangat halus. Matamu yang bersinar, cerah dan tajam saat memandang, tetapi sayu. Senyummu bisa membuat lubang di kedua pipimu itu, apalagi sampai terlihat gigi gingsulmu itu, semakin menawan saja kamu Istriku. Laki-laki mana yang bisa menahan untuk tidak berkedip saat melihatmu.
Sampai saat aku ketahuan karena membuntutimu terus, dan kamu memergokiku yang sedang memindik di balik dinding antara kantin dan kelas. Jangan tertawa dulu ya Ratna, memang saat itu aku sungguh malu sampai wajahku berwarna merah seperti sedang di lumuri saus tomat. Aku kira kamu bakal marah karena ulahku itu. Tapi ternyata kamu begitu baik. Kamu malah mengajakku minum es kelapa bersama sambil bercakap-cakap. Ya Tuhan, betapa senangnya aku Ratna. Do’aku disetiap senja ternyata terkabul.
Awal kedekatan kita berlanjut dari es kelapa ke moccacino. Dari anak sekolah ke perguruan tinggi. Tapi sayangnya saat itu hanya aku saja yang diberi kesempatan untuk merasakan duduk di bangku perguruan tinggi, mungkin kamu memang di takdirkan untuk mencintai alam. Kamu bekerja di toko bunga milik ayahku, sampai ayahku sangat menyukai kamu Ratna. Ayah sering membicarakanmu saat aku sedang makan malam bersamanya. Katanya kamu anak yang baik dan bermoral. Aku adalah lelaki paling beruntung yang pernah ada karena bisa mengisi hati kamu, kata Ayah. Ah, Ayah memang selalu baik padaku. Aku yakin itu hanya kata-kata yang dimaksudkan untuk memotivasiku agar semakin berprestasi.
Tetapi pikiran semacam itu hilang saat aku menyelesaikan kuliahku, dan Ayah bilang padaku kenapa aku tidak menikahi kamu, Ratna. Aku sudah cukup siap untuk menikah. Ya Tuhanku, apa aku sedang dalam keadaan bermimpi atau setengah sadar atau memang benar-benar sadar? Aku ingat betul kata-kata Ayah. Kamu adalah perempuan yang akan membuatku bergembira tiada habisnya. Karena terlihat dari kebersamaan kita yang tidak pernah hilang dari awal kita bertemu. Mendengar ucapannya yang meyakinkan itu, aku berniat melamarmu Ratna. Dan kita akan menikah. Tetapi kebahagiaanku tidak berlangsung lama sampai pada ayahku terkena penyakit Jantung dan meninggal 14 hari sebelum hari pernikahan kita”.
Mata Suaminya mulai berkaca-kaca. Seperti hendak menangis tapi tak ingin.
“Saat itu aku sungguh tidak bisa membedakan antara suka dan duka. Antara kehilangan dan baru menemukan. Antara tangis dan tawa. Ayah adalah orang tuaku yang tersisa. Ibu telah lama meninggal, lebih tepatnya saat aku masih berusia 5 tahun karena penyakit paru-paru. Jadi, apakah ada seseorang yang bisa melewati begitu saja kematian orang tua yang disayangnya dengan perasaan yang biasa-biasa saja? Pasti takkan mampu. Begitupun aku. Tetapi aku sadar akan sesuatu, kehidupanku bukan berarti harus selalu larut dalam kesedihan. Memang telah waktunya Ayah untuk menghadap sang Khalik, dan aku tidak ada kemampuan apa-apa untuk mencegah.
Kamu lah yang telah membantuku keluar dari kesedihan yang hampir mendominasi pikiranku. Kamu lah yang membuatku mengerti, bahwa tidak seharusnya kita membiarkan kesedihan terus menerus masuk ke dalam tingkatan yang berlebihan. Kamu lah yang mengajariku kalau kontrol diri akan semakin hilang jika kita tidak menyadari dan terus membiarkan kesedihan menguasai diri kita. Aku tidak ingin itu terjadi dan yang pasti itu dapat merusak hubungan yang kita jalani selama ini. Aku tidak boleh mencampur adukkan masalah kesedihan dengan kebahagiaan yang telah terlihat di depan pelipis”.
Mendengar perkataan Suaminya yang seperti itu, Ratna sedih bukan kepalang. Air mata keluar deras dari matanya, dan tak bisa berkata apa-apa.
“Hei, Aku tidak bermaksud membuatmu menangis Ratna. Tunggu sebentar, Aku harus mengusap pipimu dengan tissue”.
Ucapan mesra itu memang selalu terdengar dari seorang Suami yang sangat menyayangi Ratna itu. Dia berdiri, berjalan menuju lemari kayu tua di samping tempat tidur dan mengambil tissue.
Suaminya segera menyeka air mata Ratna yang keluar deras dengan Tissue. Dan kembali duduk di samping ratna.
“Aku jadi rindu di saat-saat setelah kita menikah. Aku heran mengapa kita tidak pernah meributkan sesuatu yang seharusnya menjadi ritual mutlak bagi pasangan suami-istri yang baru menikah. Semuanya terasa sangat menyenangkan, padahal aku sendiri pun jarang mengucapkan kata cinta kepadamu. Entahlah, menurutku sebuah janji yang hanya diucapkan bibir tidaklah bermakna apa-apa dibandingkan aku memperlihatkan sebuah kesetiaan dan kasih sayang melalui apapun yang aku perbuat. Aku hanya merasa tidak jauh beda seperti pujangga yang sangat pintar menulis kata-kata cinta yang syarat dengan arti, jika aku hanya mengucapkannya melalui bibir tanpa tindakan. Karena aku merasa, aku bukanlah pujangga yang sedang dibicarakan ini. Aku adalah seseorang yang ditakdirkan untuk selalu bertanggung jawab, dan tanggung jawab itu takkan terealisasi jika hanya dengan ucapan.
Setiap senja kita selalu pergi ke gubuk di tengah sawah itu. Kita membawa rantang berisi makanan yang telah kamu buat untuk menyambut aku pulang bekerja. Ya, setiap senja pula kita selalu berdoa di gubuk itu sambil menyapa beberapa orang petani yang lewat, sambil melihat kerbau yang tengah membajak sawah. Tetapi ada 1 do’a kita yang mungkin tidak tersampaikan kepada Tuhan. Bahwa kita tidak akan mendengar suara tangis bayi dirumah. Kita tidak akan menggendong seorang bayi di kamar kita. Ya, kamu mempunyai sedikit masalah kecil di rahimmu yang membuat kamu tidak bisa hamil. Aku melihat kamu begitu sedih saat kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan masalah ini dan kamu mendengarnya.
Setiap hari yang kamu lakukan hanya melihat keluar jendela, mungkin kamu menyangka aku akan kecewa bukan? Tidak Istriku, bahkan tidak ada 1 butir debu kekecewaan yang menempel di dalam lubuk hati. Kita akan terus berbahagia walaupun tanpa kehadiran bayi di dalam hidup kita. Dan aku akan tetap ada untukmu. Bagaimanapun kondisinya, seberapa lama dan tidak peduli seberapa jauh. Aku yang kembali mengingatkanmu akan sebuah kata-kata yang kamu ucapkan. Kamu lah yang membuatku mengerti, bahwa tidak seharusnya kita membiarkan kesedihan terus menerus masuk ke dalam tingkatan yang berlebihan.”
Ratna dan suaminya semakin mengeratkan genggaman setelah suaminya berbicara seperti itu. Merasa bangga akan kesetiaan suaminya sampai dengan saat ini.
“Hari demi hari kita melaluinya dengan berdua. Membersihkan rumah, memasak, merawat kebun, pergi ke gubuk di tengah sawah itu, dan banyak hal lain yang kita jalani dengan sangat menyenangkan. Kita telah menikmati hidup yang luar biasa. Kita telah mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya melalui kebersamaan. Setiap pagi kamu memakaikan aku dasi, dan pagi berikutnya, berikutnya, berikutnya, berikutnya, dan disaat kamu menyuruhku melihat cermin untuk melihat dasi itu terpasang dengan rapi atau tidak, aku dan kamu telah berubah menjadi sosok kakek dan nenek. Kamu memakaikan kacamata tebal milikku, kemudian aku berangkat bekerja.
Meskipun di masa tua seperti ini, kita tetap berbahagia. Membersihkan rumah, memasak, merawat kebun, dan banyak hal lain yang kita lakukan dengan rasa gembira yang luar biasa. Tetapi saat aku dan kamu pergi ke gubuk itu, kamu mengeluhkan sesuatu. Kamu merasakan sakit yang tidak biasa di seluruh tubuhmu. Aku langsung membawamu kerumah sakit, dan aku tidak menyangka itu adalah kunjungan terakhir kita ke gubuk yang penuh akan kenangan indah.
Selama dirumah sakit kamu tidak menunjukkan tanda-tanda akan membaik, malah makin memburuk dengan tidak bisanya kamu menggerakkan anggota tubuhmu yang sebelah kanan. Ya Ratna, kata dokter kamu terkena penyakit Stroke. Ketika mendengar ini aku melamun beberapa saat, dan air mataku keluar begitu saja. Seakan tidak menerima kenyataan yang telah aku dapat. Kamu tidak dapat berbicara lagi, kamu tidak bisa pergi ke gubuk lagi, dan kamu tidak bisa merawat kebun Jambu kita lagi. Kamu hanya bisa menatap, hanya melalui matamu lah aku mengerti”.
Suaminya mengeluarkan air mata tanpa bisa dicegah. Ratna pun tak bisa melakukan apa-apa selain menggenggam erat tangan suaminya sambil menangis.
"Sesuatu yang indah mungkin sudah tidak bisa lagi kita lakukan. Semuanya sudah aku tukar dengan uang untuk biaya rumah sakitmu yang membludak. Aku di keluarkan dari tempatku bekerja karena sering tidak masuk kerja, aku lebih memilihmu Istriku. Namun karena keluargamu dan keluargaku pun ikut membantu biaya rumah sakit, kamu bisa di rawat jalan. Kamu bisa pulang Ratna. Karena tagihan sudah terbayar semuanya. Tapi, hanya beberapa hari aku berada dirumah lagi bersamamu, aku sudah merasakan ada yang tidak beres dengan dadaku. Suatu hari tetangga kita mendapatkanku tengah terkapar di ruang tamu, dan langsung membawaku kerumah sakit.
Aku dirawat dirumah sakit dengan ditemani oleh adikku, dan kamu berada dirumah dengan adikku yang 1 lagi. Tapi, dengan berada dirumah sakit ini bukan berarti mereka menjamin akan membuatku sembuh kembali kan? Aku pergi meninggalkan kamu Istriku, dan setumpuk kenangan manis yang selama ini kita bina dan kita jaga. Aku meninggalkan rumah kita yang indah itu. Rumah yang berisi suka, duka, harapan dan banyak lagi hal-hal yang lain. Aku meninggalkanmu sendiri, tanpa sesosok Suami yang selama ini sudah setia menemanimu”.
Ratna menangis dan terus mengeluarkan air matanya tanpa tahu dia harus berbuat apa-apa. Dia hanya perempuan yang lumpuh, tidak bisa berjalan, bahkan berbicara. Dia begitu sedih melihat arwah Suaminya datang mengunjunginya disaat yang tepat. Ingin berbicara, tapi dia tak mampu. Ingin mencurahkan rasa rindu, dia tidak bisa. Hanya bisa duduk diam di kursi roda.
Arwah suaminya pun secara perlahan-lahan hilang dari penglihatan. Dengan meninggalkan bungus plastik berwarna putih di pangkuan Ratna. Ratna segera meraih bungkusan itu dengan tangan kirinya, dan ternyata ada sebuah kotak. Dia pun membukanya dan mendapatkan sebuah surat, kemudian dia membacanya.
Dear Ratna
Untuk semua yang telah kamu lihat, dan untuk semua yang telah kamu dengar, itu semua terukir di dalam pikiranku. Rasakanlah, aku berbicara melalui kata-kata ini. Apa yang telah aku ambil, adalah apa yang telah kamu tinggalkan. Kita kembali berbagi di dalam 1 keabadian, hidup di 2 pikiran. Dihubungkan oleh benang tak berujung, dan tidak mungkin untuk beristirahat.
Happy Anniversary, untuk ulang tahun pernikahan kita yang ke 38 tahun.
From : Love, Circumstances and Loyalty
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar sopan saya segan.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.