20 Ribu Untuk Kebenaran
Cerpen Karya
Dreamanzie, Kopaja, Desember 2011 14.35 WIB
Berbagai aroma tubuh dan bau mulut bercampur aduk tercium di Kopaja yang sedang aku tumpangi ini. Penuh sesak tidak aku hiraukan, karena dalam beberapa menit lagi, mata kuliah Pemrograman Web akan dimulai. Quota absen yang di berikan sebanyak empat kali, telah aku gunakan empat-empatnya. Itu berarti jika aku tidak hadir lagi, aku akan mengulang mata kuliah ini semester genap yang akan datang. Tapi entah kenapa, aku selalu optimis tidak terlambat kalau menumpang Kopaja. Karena yang aku tahu benar tentang Kopaja, mereka adalah Raja Jalanan dan tentu saja selalu cepat.
***
Suatu hari aku pernah melihat seorang wanita kantoran berbicara kepada kernet tentang kapasitas bis yang sudah melebihi batas. Wanita itu duduk di tengah, sementara penumpang lain yang berdiri terus bertambah dan semakin menyulitkan untuk bernafas. Kemudian wanita itu memaksa untuk turun. Berdesak-desakkan menerobos penumpang yang sedang berdiri. Aku mengintip di sela-sela tubuh para penumpang yang lehernya telah basah berkeringat, dan melihat wanita itu sedang muntah di pinggir jalan.
Sesaat setelah wanita itu turun, kernet yang berlogat Batak itu berbicara keras sambil memegang uang kertas yang di susun sangat rapi "Kalo numpang jangan banyak ngatur. Gak seneng ya turun. Orang kaya kenapa gak naek bis sebelah tuh, TransJakarTai". Semua penumpang tak ada yang peduli dengan kata-kata si kernet batak itu. Dan yang paling penting dari kata-kata itu, aku paham betul apa yang paling di benci oleh kernet dan supir Kopaja. Ternyata TransJakarta. Aku yang sedang berdiri hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata si kernet. Aku selalu mengingat-ingatnya untuk aku tulis di tulisanku, dan sekarang inilah cerita itu aku ceritakan kembali.
***
Aku berdiri lagi dan memang selalu begitu. Kernet mulai mengecrek-ecrek uang logam, tanda untuk meminta ongkos. Terasa jari tangannya mencolek bahuku. Aku menengok, dan aku melihat si kernet yang tersenyum. Tidak seperti biasanya. "Ongkosnya mas" pintanya halus, dengan logat Jawa tulen.
"Oh iya bang, sebentar" Aku merogoh kantong celanaku dan tidak ada receh. Terpaksa aku memberikan uang dua puluh ribu "Gak ada receh Bang".
"Yaudah gapapa nanti di kembaliin" kata si kernet.
Kernet itu berdesakkan lagi untuk meminta ongkos kepada penumpang bis yang sudah penuh sesak. Di tambah si supir yang ugal-ugalan mengendarai bisnya, menyulitkan si kernet untuk melangkah karena selalu ingin jatuh. Setelah kernet itu sudah berada di depan bis, aku ingat kejadian satu tahun yang lalu. Aku pernah memberikan uang dua puluh ribu, tetapi si kernet tidak mengembalikan uang kembalian ongkos. Saat itu aku sedang UTS mata kuliah Aplikasi Komputer, tetapi aku tidak pernah sampai ke kelas itu. Sesaat setelah aku turun dari Kopaja, aku hanya duduk terdiam di pos polisi pertigaan Green Garden. Menunggu temanku datang untuk menjemputku dan mengantarkanku pulang, karena aku tidak punya ongkos lagi.
***
Kejadian itu terjadi satu tahun yang lalu. Saat itu hujan mengguyur bis Kopaja yang aku tumpangi dari Kalideres menuju Green Garden. Sedangkan aku sedang berpikir, bagaimana caranya aku bisa sampai ke sebrang jalan dan naik angkot lagi tanpa terguyur hujan. Si kernet menyolek bahuku "Ongkos ongkos!" katanya kasar dan tanpa senyum sedikitpun.
"Sebentar bang" jawabku kesal sambil merogoh kantong celana dan membayar ongkos dengan uang dua puluh ribu "Gak ada receh" aku melihat matanya tajam.
"Yaudah ntar kembaliannya" ucapnya sinis.
Saat itu aku hanya memikirkan tentang soal UTS nanti. Menebak-nebak kira-kira soal yang keluar nanti apakah yang telah aku pelajari di rumah atau bukan. Belum lagi masalah hujan, bagaimana aku sampai ke sebrang jalan tanpa basah kuyup. Jadi aku lupa dengan uang dua puluh ribu itu. Ah, kupikir si kernet itu akan mengembalikannya. Aku melihat suasana bis yang mulai sepi dan melihat bapak-bapak sedang membaca koran di bangku paling belakang. Aku melihat headline koran itu "SUAP MULUT: Trend Menutup Kebenaran di Indonesia". Aku sedikit terkikik, serendah itukah harga kebenaran di Indonesia sehingga bisa di ultimatum dengan kata "UANG"?
Aku belum ingat tentang uang dua puluh ribu yang belum di kembalikan. Kulihat si kernet sedang berteriak "Lipi..Lipi..Lipi". Tetapi aku harus turun dari bis sekarang juga karena sudah sampai tujuanku. Sebenarnya aku tidak bodoh kalau saat itu aku turun begitu saja untuk mengejar angkot di seberang jalan. Karena kalau tidak aku kejar, aku akan telat, pasti. Dan akupun turun, tetapi si kernet tidak sama sekali membahas tentang nasib kembalian ongkos. Aku melihat Kopaja itu berlalu indah dengan suara mesin rongsoknya yang gagah. Aku periksa kantong celanaku untuk memastikan ada uang receh untuk naik angkot selanjutnya. Dan aku baru ingat "Aku hanya membawa uang dua puluh ribu, KAMPRET!".
Aku berjalan menuju pos polisi di pertigaan Green garden dengan wajah tertunduk bingung "Ke Kampus naik apa? Jalan kaki?" begitulah pikiranku. Saat itu memang aku panik, tapi sengaja aku berlaga seperti sedang tidak terjadi apa-apa. Aku sibuk menelepon teman-teman kampusku, tetapi tak ada jawaban. Aku ingat lagi, "apakah seekor cicak telah jatuh di kepalaku kemarin?". Setelah aku sampai di pos polisi, aku langsung duduk. Melihat tiga orang polisi sedang mengatur lalu lintas, karena lampu lalu lintas mati. Lalu temanku mengirim SMS "Ji, kelas udah mulai lu dimana?".
Aku membalas "Selesai UTS, lo jemput gue di pertigaan Green Garden. Nanti gue ceritain". Aku langsung menaruh handphone di ransel.
Tak lama, kemudian salah seorang polisi menghampiriku "Mau kemana dek?" tanyanya ramah.
"Mau ke kampus pak" jawabku lemas.
Polisi itu meneguk segelas kopi, "Kok daritadi gak berangkat-berangkat?" dia menaruh gelasnya.
"Uang Saya ketinggalan di Kopaja pak".
"Loh kok bisa?"
"Saya lupa minta kembalian" aku tertunduk, tersenyum malu.
"Lain kali sediakan uang receh. Kernet itu girang kalo ada penumpang yang memberikan uang ongkos yang besar" katanya, sambil menunjuk-nunjuk bis Kopaja yang lewat.
"Iya pak, Saya ceroboh banget hari ini" aku masih tertunduk sambil menggaruk kepala. "Tapi gak apa-apa pak, hitung-hitung ingin mencari tahu kalo kernet Kopaja itu jujur atau enggak".
"Lalu, bagaimana kesimpulannya?" tanya polisi itu.
"Ya tidak selalu jujur" jawabku.
"Berarti, kamu rela membayar dengan seluruh uang jajanmu untuk membuktikan kebenaran?"
Aku terdiam, aku tak mengerti maksud Pak Polisi itu.
"Kadang, kebenaran itu bisa terbunuh dengan uang" kata Pak Polisi itu sambil berlalu meninggalkanku untuk mengatur lalu lintas lagi sambil menaik-turunkan alisnya yang kanan beberapa kali.
***
Tidak terasa sudah lama aku melamun memikirkan kejadian satu tahun lalu. Dimana sedikitnya aku mengerti tentang kernet Kopaja. Dan aku juga mengerti tentang kebenaran yang mempunyai harga. Aku langsung mempunyai strategi, aku akan berpura-pura lupa untuk meminta kembalian ongkos. Sehingga aku bisa memastikan tingkat kejujuran dari kernet Kopaja, sekali lagi. Si kernet mengetuk kaca pintu Kopaja dengan uang logam "Garden...Garden...Garden" itu tandanya aku harus segera turun. Aku pakai switerku, aku pakai topi dan aku bersiap untuk turun. "Bang..Bang, Green Garden".
"Iya...iya depan dikit dek" kata si kernet. Kemudian dia melihatku "Ini kembaliannya dek. Kan belum di kembaliin".
Aku langsung tersenyum mendengar suaranya yang berlogat Jawa "Oh iya bang, Saya hampir lupa"
Dia menghitung-hitung uang yang akan di kembalikan kepadaku "Nih dek kembaliannya. Turun disini?" tanyanya.
"Makasih ya Bang. Iya disini" jawabku.
Dia langsung mengetuk kaca pintu dengan cepat "Kiri...kiri...kiri" teriaknya.
Aku pun langsung turun dengan wajah sumringah. Bukan karena aku naksir dengan si kernet itu. Tapi, karena aku masih bisa melihat kernet kopaja yang jujur. Meskipun seluruh masyarakat Jakarta tahu, kernet dan supir kopaja adalah preman, dan seluruh masyarakat Indonesia tahu, preman itu jahat, tetapi aku bisa membuktikannya langsung, kalau tidak semua masyarakat Indonesia -khususnya supir dan kernet kopaja- yang bersikap curang dan korup. Masih ada orang yang sangat menghargai kebenaran milik orang lain, meskipun aku harus mengeluarkan uang dua puluh ribu untuk taruhannya.
Dreamanzie, Kopaja, Desember 2011 14.35 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar sopan saya segan.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.