Di Sadur dari :
Pendahuluan: Ulasan ini telah dicetak untuk Paper Zine edisi ke-8 Desember kemarin. Dimuat kembali untuk tujuan dokumentasi.
Album ini datang satu paket dengan sebuah novel. Untaian
cerita yang digarap oleh sang biduan, Addy Gembel. Terlepas dari pemaknaan
rangkaian kata-kata yang membentuk-bangun ruang sebuah dimensi cerita, mengulas
album ini berarti juga mengulas sastra selain dari pada musik itu sendiri.
Artinya, memaknai album ini adalah juga memaknai apa yang hendak Addy Gembel
utarakan dari judul ke judul cerita, dan antara “Bubuka” hingga “Pusara Beku”
yang menjadi penanda berakhirnya rotasi CD. Tentunya Forgotten bukan Addy
seorang. Perannya yang menonjol itu, baik yang ia sadari atau tidak,
menciptakan Forgotten yang hanya Addy. Bukan Toteng, Gan Gan, Dicky, atau
Rifki’13. Pula sebagaimana kita bercerita tentang almarhum Homicide yang hanya
ada Ucok disitu. Bukan Aszi, Sarkasz, Lephe, dan E-One.
Bukan masalah besar. Kerja kolektif mereka berhasil menciptakan
karya paling otentik budaya pembangkangan dari skena Bandung. Forgotten adalah
pembangkang moral paling konsisten dari yang pernah ada. Sebagaimana awal
kemunculannya di Ujung Berung hingga 17 tahun mengibarkan bendera, mereka masih
setia menjadi penyeru paling pedas bagi kebudayaan yang hampir membusuk karena
produk-produk miskin makna, bahkan yang tanpa makna. Produk-produk yang semakin
lumrah kita konsumsi hari ke hari guna mengejawantahkan perihal identitas kita
sebagai makhluk sempurna. Sempurna di depan kasir dan sempurna di depan Tuhan. Mereka
yang kemudian bertaruh, siang dan malam, sembari terus merapal ayat-ayat dan
pujian-pujian kepada Tuhan sebagai pelumas asa. Bahkan disaat mereka cuci
tangan dari darah. Darah yang membeceki istana mereka dari koloni gembel dan
jelata.
Inilah epos satirnya manusia dari Forgotten. Dengan dilengkapi
doa-doa di abad pembusukan, membuat manual yang diotorisasi oleh negara menjadi
miskin makna. Ia dirancang amat begitu gundah dengan bermuatan sesak gemuruh
amarah di tiap riff dan konstannya rentetan snare. Menciptakan Laras Perlaya
yang bermakna ‘tembang kematian’, menjadi serapah koloni yang telah dicampakkan
oleh dewa. Khayangan yang demonik. Roman dan tragedi, cinta dan kebencian, juga
tuhan dan setan. “Bubuka” yang
berfungsi sebagai gerbang khayal memasuki khayangan menjalani tugasnya begitu
mulia. Ia mengantarkan kita pada kengerian dalam perjalanan kita menelusuri
setapak lajur menuju khayangan. Dimana ia menyediakan kita surga dan juga
neraka. Kita tahu bahwa kita sesungguhnya enggan untuk beranjak. Namun ternyata
kita dipaksa oleh situasi yang kelak kudu mengorbankan dan menggadaikan apa
yang kita punya. Harga diri dan mimpi, tak terkecuali.
Senarai tembang dan rangkaian kata yang merefleksikan sebuah
perjalanan menuju khayangan. Sebuah perjalanan untuk kematian itu sendiri.
Karena sejatinya kita terlahir, sejatinya pula kita sedang dalam perjalanan
untuk mangkat. Sungguh tragis. Sebut saja sang dewa Theos, yang juga berperan
sebagai penjaga pintu surga itu. Atau nama-nama lain semisal Lilith, putri dari
Theos dan Dewi Leto yang akhirnya meninggalkan segala gemerlap nirwana dan
memilih pekarangan neraka bersama sang penjaga gerbangnya, Kobal. Hal ini
dirancang amat ironis pada perkamen pengantar Laras Perlaya yang ternyata sudah
Addy selesai tulis sejak 2008. Tutur bahasanya begitu jujur, lugas, dan miris.
Kalimat-kalimat yang ia gunakan dalam novel ini kelak menjadi manifestasi dari
lirik-lirik singkat yang terdapat dalam album ini. Menjadikan “Hajar Jalanan” hingga “Pusara Beku” tak sekedar jargon atau
slogan-slogan simbol kekerenan belaka.
Sedari “Musim Panas
Menghitam”, tokoh antagonis sudah menjelma dengan sendirinya tanpa perlu
kita tafsir berulang-ulang. Ia menyerupa dunia yang hari ini kita tempati
dengan segala ampas hidup. Dari rentenir, makelar, korporasi, dan dunia yang
tragis. Dibuka dengan dialog makhluk berbekal sapu terbang dan penjaga warung
dengan gambaran suasana yang dingin, pagi, dan sekejap menghangat. Mereka bertukar
embun dengan menghamburkan kata yang tak jua membebaskan sang Kurcaci bertudung
hitam, si pengendara sapu terbang. Pagi yang amat revolusioner. Celoteh sang
pemilik warung, Moksa, dengan sengnya yang doyong tersebut, mampu membangun
imaji resureksionis diantara jejaring kosmis yang berkelindan lewat bagaimana
sang penulis membentuk dimensi cerita.
Dibalik medan wacana antara Moksa dan Kurcaci tersebut,
saya teringat tentang apa yang dikatakan Evey Hammond (Tokoh utama dalam film V
For Vendetta). Ia mengatakan bahwa
“Seniman menggunakan kebohongan untuk mengungkap kebenaran” sebagai negasi
dari, “Politisi memakai kebohongan untuk
menutupi kebenaran”. Sekarang, hal tersebut kudu dikonfrontir dengan debat
yang muluk dari Moksa dan Kurcaci: “Hey,
seniman bukan bebas berekspresi tapi bebas menipu. Atas nama estetika dan makna
semua hasil karya adalah pundi-pundi berharga...”. Sampai disini, dunia
kita sesak akan hal apapun itu yang dapat menjadi seonggok seni. Bahkan tahi
anjing menggulung bak obat nyamuk dengan disoroti cahaya temaram, kemudian
ditempatkan dalam sebuah galeri milik kurator terkemuka maka, kun fayakun!
Jadilah ia sebuah seni.
Post-modern adalah juga sengkarut benda-benda yang
‘biasa’ kita temui dapat beralih makna menjadi barang seni. Ia direpresentasikan
ke dalam bentuk lain. Direproduksi menggunakan bungkus dan enviromental. Dari
sini juga makna itu hilang, kandas tak berbekas. Ia hanya akan menjadi komoditi
seperti, “...Atas nama estetika dan makna
semua hasil karya adalah pundi-pundi berharga...”. Kata “...berharga” sendiri merupakan
penekanan akan sesuatu dengan barcode dan label yang menggantunginya. Bukan malah
sebuah ‘arti’ atau ‘makna’. Karena, estetika itu sendiri yang akhirnya menuntut
untuk memberangus makna dari produk, dari aktivitas, dari apapun yang kita
lakukan di dunia. Sebagai penegas, saya akan mengutip penggalan syair Boombox Monger milik Homicide: “...Yang mereproduksi Walter Benjamin ke tangan
setiap seniman Keynesian//Yang mensponsori festival insureksi dengan molotov
cap Proletarian”.
Fragmen pertama ini berakhir dengan rasa penasaran.
Tentang kelanjutan si Kurcaci beserta mimpinya untuk memberontak kembali, dan
sang Moksa, yang pensiun dari bisnis merakit molotov sebagai hadiah untuk
musuh-musuhnya. Kelak, dalam perjalanan kita menelusuri kata demi kata, kita
disuguhi roman penuh keringat antara desahan cinta dan lumernya raga. “Resital Selangkangan”, sebagai kisah
vulgar yang diketengahkan sang penulis untuk masuk ke alam batin yang menuntut
keterbukaan, kejujuran, dan nol kemunafikan. Darinya, kita belajar untuk
berkomunikasi sejernih mungkin, sejujur mungkin, dan memanusiakan manusia
sebagaimana mestinya. Cinta yang tercipta antara dua makhluk dengan upaya
meruntuhkan tembok pembatas moralitas pajangan yang dilembagakan untuk pemasukan
negara. Membebaskan dirinya dalam sentuhan yang paling intim sekaligus magis.
“Resital
Selangkangan” sendiri merubah dirinya menjadi “Resital Apokalips”. Ia mewujud Forgotten sekarang, bukan ego
seorang Addy lagi yang telah mumpuni memeras saripati kehidupan dan
mengejawantahkan secara terang namun dengan disisipi imaji gelap disana-sini. Majas-majas
yang ultra ironis, dan siapa yang gagal memahami Forgotten, maka ia akan
terjerumus dalam selangkangan yang sama dan tipikal yakni: Satanis. Karena
sejatinya Laras Perlaya datang, novel pun menjadi pelengkap tafsir yang berupa
fragmen-fragmen yang kelak menjadi kesatuan utuh langgam demi langgam. Seperti
syair, “Jangan cari aku di surga//Makna
ku hanya metafora”, adalah petuah yang sama yang dimuntahkan dari seorang
Al-Hallaj. Bahwa eksistensi berarti jua ketiadaan. Ketiadaan adalah keberadaan.
Sesudah bubuka, tanpa jeda kita langsung menghajar aspal
selama 3:10 detik. “Hajar Jalanan”,
bersama bass line yang meliuk-liuk untuk kemudian menari bersama dengan sedikit
magis tarawangsa di tengah-tengah part yang diapit teriakan gahar dari bung
Addy Hamdi. Tanpa perlu tedeng aling-aling, segala patron dan tetet-bengeknya
adalah manual pengukuh hegemoni kuasa. Mereka yang mengenyam sarjana, tentu
kudu gablek duit. Tega nian dan jelas-jelas standarisasi kelayakan dan
kesejahteraan terlahir dari seberapa lama kita mengenyam bangku sekolah.
Semakin tinggi dan semakin panjang nama kita dengan gelar, maka semakin nyaman
lah ia. “Pendidikan raja tega//Hanya
milik kaum kaya”,begitu progresif disuarakan. Cetak biru paling mutakhir
dari progresif metal hari ini. Bisa jadi sebuah awal untuk melahirkan prog
metal folk dikemudian hari.
Yang paling frontal adalah transformasi epik dari Kobal
dan Lilith di negeri dongeng untuk menjadi pembangkang garda depan. Ia
mentah-mentah meludahi patronasi seperti di “Surga
Metafora”, “Bantai Patronasi”,
dan “Tuhan Profane”. Mereka rela
menjadi sempalan rezim yang tengah berkuasa, baik dibalik mewahnya surga dan
getirnya neraka, dan kisah suram para penghuni alam manusia di pelataran tak
juga neraka, tak juga surga. Gaya bahasa yang penulis utarakan pun ternyata tak
menemui paceklik metafor saat para sempalan rezim ini menghunus kalam kepada
trias politica. Tiga pilar politik, demokrasi, dan negara. “Trias Demonica”, seperti menjembatani makna di syair “Barisan lapar//usung trisula” pada “Hajar Jalanan” dengan “Aparat//Birokrat//Korporat//Trias Demonica”
dimana ketiga gagang tajam pada trisula yang diusung itu sudah menemui
targetnya masing-masing dengan amat-sangat-telak.
Laras Perlaya ditutup dengan khidmat yang mengawang
selama 06:32 detik. “Pusara Beku”,
mengalun begitu ritmis. Membangun struktur rapi alam transendental, jembatan
antara sylabus otak kanan dan kiri, membuka gerbang vortex kita, untuk kemudian
memasuki perlahan alam personal di pojokan hati seorang Addy. Ia yang telah
melewati kurun waktu, getir dan puritan sekaligus menjadi manusia seutuhnya.
Mengingat saat ia menjalani kritis karena penyakit yang dideritanya, terkadang
membuat lagu ini menjadi nada refleksi tersendiri – terlepas dari semua
anggapan. Sisanya, hanya keheningan, dan sayup-sayup tarawangsa berbaur petikan
jentreng yang semakin menipis dan terus hilang dibalik keheningan. Tanda
klimaks dari distorsi dan mega yang mendentum. Berbarengan dengan kelahiran
yang juga kematian, Requiem Tanpa Nisan.
Dalam The Birth of
Tragedy, Nietzsche pernah berujar. “Musik,
melambangkan sebuah ruang yang melampaui dan mendahului semua fenomena”.
Syahdan, struktur nada pada Laras Perlaya adalah juga buah yang ranum hasil
riwayat dari tokoh-tokoh yang menghiasi rangkaian cerita di Laras Perlaya.
Sebuah album secadas marmer menghitam ini dimulai oleh kesunyian, tarawangsa
mengawang, petikan repetitif, minor-datar-fade out-minor dan dijumpai tom-tom
yang rancak. Pertanda tragedi akan lahir. Dan sebagaimana ia lahir, tragedi itu
pun ditutup oleh nada yang mengalun persis sebagaimana tragedi tersebut
terlahirkan. Ia telah melampaui apa yang oleh orang yakini sebagai takdir,
sebagai ketidakmungkinan. Hidup, karenanya jika bukan sebuah tragedi, maka –
kembali mengutip Nietzsche – sebuah gambaran yang seolah-olah dialami sendiri,
yang sebenarnya dia tempatkan dalam sebuah konsep. Konsep itu bernama
kehidupan, dengan langgam tentang sebuah akhir dimana kita sendiri yang kudu
menentukannya. Bukan nasib, takdir, malaikat terlebih aparat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar sopan saya segan.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.