Kisah Lembu Tak Berotak - Firdaus Siagian
Pelacur itu terus menari dihadapanku. Meliuk-liuk bagai asap
rokok tertiup semilir angin malam itu. Gerakannya merangsang birahiku. Bedebah!
Aku tak dapat menghapuskan sosok dirinya dan mereka dari ingatanku. Bahkan aku
tak dapat berpikir lagi bagai si lembu tak berotak yang dicocok hidungnya.
Dungu!
* * * * *
Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana aku dapat terikat dengan
para perumpuan itu, terutama Nanik, dan kehidupan yang aku jalani sekarang.
Bukan, bukannya aku tidak tahu, tetapi aku lupa awal mula aku bertekuk lutut
dihadapan semuanya itu.
Beberapa bulan yang lampau, entah kapan itu karena aku pun
sudah lupa, aku datang ke kota besar ini untuk mengadu nasib peruntunganku. Aku
terbuai dengan cerita-cerita orang-orang kampungku yang telah lebih dahulu
merantau ke sini. Aku terbuai dengan mimpi-mimpi menjadi kaya, punya rumah
mewah, mobil bagus dan pekerjaan yang selalu menuntutku berdasi dan berjas
seperti mimpi-mimpi yang ditawarkan sinetron di televisi hitam putih milik Pak
Somad, tetanggaku. Aku iri dengan mereka yang jika pulang kampung pada hari
raya selalu memakai pakaian yang mewah-mewah dan selalu menghamburkan uang dari
kocek mereka seakan-akan kocek mereka adalah telaga yang selalu membual dan tak
pernah kering.
Sungguh aku terpesona ketika melihat Nining teman SD-ku
dahulu ketika pulang kampung memakai rentetan gelang emas, cincin emas di
setiap jarinya dan kalung emas dengan bandul yang sangat mencolok mata. Mentereng
sekali dia! Padahal dulu dia bukanlah siapa-siapa, bahkan makan sehari sekali
pun keluarganya sangat bersyukur. Atau Rohman, temanku yang sering berenang
bersama di kali, setiap pulang dia selalu membawa berkantong-kantong oleh-oleh
buat sanak keluarganya di sini. Belum lagi celana jeans-nya yang mengkilap dan
kemeja yang masih bau pabrik. Jujur, aku iri dengan mereka. Itulah yang semakin
membulatkan tekadku untuk mengadu nasib di kota. Kalau aku kaya dan punya
banyak uang seperti mereka, selain kehidupanku berubah, tentulah Emak yang
sudah renta dan ringkih tidak usah lagi bekerja keras membanting tulang sekedar
untuk hidup hari ini.
Tapi Emak selalu tidak pernah setuju dengan keinginanku
pergi ke kota.
“Lebih baik engkau bantu Emak mengurusi sawah Bapakmu”,
katanya suatu kali ketika aku minta ijin untuk merantau. Emak memang tidak
pernah setuju. Emak tidak pernah mengerti bahwa kepergianku itu sebenarnya juga
untuk kebaikannya. Emak selalu mengikatku dengan sawah secuil peninggalan
Bapak. Kadang aku kesal juga, mengapa Bapak hanya mewariskan tanah itu pada
kami ketika ia meninggal. Bahkan untuk hidup pun takkan mampu tanah itu
membiayai kami.
“Tapi Mak, kalau saya berhasil di kota, Emak juga ‘kan yang
senang,” aku berusaha membujuk meyakinkan Emak.
“Sudahlah, ngapain juga kamu di sana? Kita tak punya sanak
di sana, Burhan. Lebih baik kamu di sini. Masih banyak yang dapat kamu kerjakan
di kampung di sini”, jawab Emak acuh tak acuh. Dingin.
“Apa Emak tak bosan hidup begini terus? Miskin terus? Mak,
sawah itu takkan pernah dapat menghidupi kita. Malah kita yang diperbudaknya!
Malah kita yang justru disuruh menghidupinya!”
“Tutup mulutmu! Andai Bapakmu masih hidup dan mendengar
perkataanmu tadi, habis kau dirajamnya!” Emak terlalu mencintai sawah itu
seperti ia mencintai Bapak. Sepertinya ia tak dapat lepas dari sawah itu.
Mungkin kehangatannya seperti kehangatan Bapak
Dan esok subuhnya aku meninggalkan Emak diam-diam pergi
menuju kot
Kalau kupikir-pikir, kadang masalah ingin cepat kaya
bukanlah salah satu alasan aku ngotot pergi ke kota. Ada satu daya tarik yang
aku tak pernah tahu tentang kota itu. Dan sekarang aku telah menjejakkan kakiku
di kota impianku. Begitu asing. Setelah capek berkeliling aku mampir ke sebuah
kedai minuman. Disitulah aku bertemu Nanik.
“Halo Tampan, baru pertama kali ke sini, ya? Mukamu lugu.
Baru dari kampung ya?” cerocosnya.
“Hmm,” jawabku dingin. Sekenanya.
“Aku Nanik. Rumahku di gang sebelah sana. Kalau kau tak
punya tempat berteduh, mampirlah ke rumahku dan menginaplah disana. Tidurlah di
tempatku.”
Tawarannya tanpa tedeng aling-aling. Awalnya aku tidak
mempedulikannya. Tawarannya bagiku seperti sebuah basa-basi orang kota. Setelah
itu, ia terus berceloteh tentang banyak hal. Tentang kota yang keras, tentang
pemerintah yang tak becus, tentang lingkungannya yang kumuh, tentang dirinya
yang pelacur, tentang banyak hal yang tidak sempat mencantol di kepalaku.
Selama aku taruh pantat penatku di bangku kedai itu, ia terus berceloteh. Tak
pernah berhenti, walaupun aku biarkan, tak peduli. Entah bagaimana sampai aku
akhirnya tersihir olehnya. Dan malam itupun aku bermalam di rumahnya.
Malam kian merangsek kian larut, namun kami tak dapat
tertidur. Entah dia yang menikmati aku atau aku pun menikmati dia, malam itu
kami bergelut badan. Aroma wangi seronok dari tubuhnya mencocok hidungku
bagaikan aku ini adalah lembu tak berotak. Aku biarkan dia bergerak di atas
tubuhku. Menari. Menggelinjang. Setelah itu letih. Kosong. Aku tak dapat
berpikir
Semenjak saat itu aku tak pernah dapat lepas dari pelacur
itu. Kini dia menjadi dewi pelindungku sekaligus penolongku. Dialah yang
memberi aku makan, memberi tempat tinggal dan memberi aku pekerjaan. Dari
Naniklah aku mengenal Tante Nora, Bu Tyas, Mbak Wati, Zus Maritje, para wanita
yang haus akan belaian cinta dan nafsu. Entahlah aku yang diperbudak mereka
ataukah aku juga turut menikmatinya, aku tak pernah tahu dan tak ingin tahu.
Aku tak dapat berpikir.
Dan semuanya seperti siklus. Setiap akhir hari, setelah aku
bergelut badan dengan para wanita kesepian itu, giliran Nanik dan aku. Selalu
setiap hari. Seperti suatu siklus kehidupan yang tak pernah berhenti. Entah aku
yang selama ini diperbudaknya atau aku yang juga turut menikmati siklus ini,
aku tak pernah tahu, sebab aku selalu tak pernah dapat berpikir. Aku sudah
seperti lembu tua yang tak berotak yang tak dapat berpikir, bahkan untuk hal
yang sepele sekalipun.
Memang terkadang aku teringat akan Emak di kampung.
Terbayang tubuh rapuhnya bergelut dengan lumpur bermandikan keringat akibat
matahari. Dua tangan keriput yang mengayun pacul. Di pikiran Emak pastilah
tentang panenan yang akan dijual kepada tengkulak di desa kami. Sedangkan aku
di sini… Aku pun bergelut, namun bukan dengan lumpur. Aku pun bermandikan
keringat, namun bukan karena matahari. Tanganku pun terayun, namun tak ada
pacul di tanganku. Dan di pikiranku… ah tak ada yang dapat kupikirkan. Kepalaku
benar-benar kosong tak berotak.
Semakin lama aku di kota ini, semakin sulit aku melepaskan
diri dari cengkeramannya. Semakin sulit aku bebas dari Nanik, si pelacur dewi
penolongku. Semakin sulit aku lepas dari pelukan para wanita yang haus nafsu
itu. Semakin terlupakan pula mimpi membawa uang banyak ke kampung untuk
membahagiakan Emak dan menunjukkan kepadanya bahwa aku mampu mewujudkan
impianku semasa di desa.
*****
Bulan demi bulan, semakin aku seperti lembu tak berotak.
Terutama di hadapan Nanik. Hari-hariku habis di ranjang. Terkadang terlintas di
pikiranku, terlalu naif kalau aku bilang bahwa semua yang kulakukan hanyalah
demi uang semata, walaupun sebenarnya aku pun tak dapat berpikir bila aku
ditanya apakah aku menikmati setiap permainan ini. Semuanya benar-benar kosong.
Hingga suatu saat aku merasa tubuhku panas meradang. Demam
yang tak kunjung berhenti menyinggahiku. Tulang-tulangku serasa menggelontor
lepas dari persendian. Dokter yang aku datangi diam-diam tanpa sepengetahuan
Nanik, aku takut dia tahu bahwa aku sedang sakit, memvonis bahwa aku mengidap
penyakit tak tersembuhkan. Penyakit yang disebabkan virus busuk akibat
pekerjaanku selama ini.
Pekerjaan? Benarkah itu adalah pekerjaan? Bukankah aku pun
turut menikmatinya juga? Bukankah aku pun turut bernafsu di dalamnya? Bukankah
aku pun turut terpuaskan dalam permainan itu? Pekerjaan? Benarkah itu merupakan
pekerjaan bagiku?
Aaah, tolong jangan sekarang cecar aku dengan semua itu …
Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir. Aku benar-benar seperti lembu tak
berotak di hadapan para wanita itu. Bukankah itu adalah suatu pembelaan diri?
Ah, jangan tanyai aku lagi dengan hal-hal itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat
berpikir
*****
Malam ini, pelacur Nanik itu kembali menari di hadapanku.
Aku selalu tahu kesudahan dari ritual ini. Ya, ritual, karena itulah yang kami
lakukan saban malam. Menari, mendekatiku, mendaki, menjilat, menggelinjang,
mendesah, meregang, semua… semua terjadwal dalam pikiranku.
Teringat perkataan dokter siang tadi. Entahlah dari siapa
aku mendapat penyakit terkutuk ini. Entahkah dari Nanik, pelacur penolongku,
ataukah dari para perempuan brengsek pengejar kehangatan itu. Brengsek?
Brengsek, kau bilang? Bukankah engkau yang brengsek itu? Aah, jangan kejar aku
lagi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir.
Malam ini, ketika aku bergelut badan dengan Nanik, terbersit
pikiran dalam benakku, apakah aku sedang mengembalikan virus itu kepadanya
ataukah aku berikan cuma-cuma kepadanya? Besok pun hal yang sama akan aku
perbuat dengan para perempuan pengejar nafsu itu.
Dipikiranku saat ini pun terlintas Emak, perempuan renta
yang gigih bergelut dengan sawahnya. Terkadang terlintas dipikiranku Emak
bergelut di sawah seperti sedang bergelut dengan Bapak. Bergelut untuk
mengatasi hidup dengan perjuangan keras. Mungkin takkan pernah aku lihat lagi
Emak kesayanganku itu, atau sawah kesayangannya, atau kampung tempat kenangan
masa kecilku tersimpan.
Dan kini, di hadapanku, Nanik mulai merangseki tubuhku,
mendaki, menjilat, mendesah, menggelinjang… kemudian semuanya kosong.
Benar-benar kosong. Si lembu tak berotak ini tak dapat berpikir lagi. Untuk
selamanya. Tiba-tiba semuanya kosong. Benar-benar kosong … .
Jatinangor, 20 Januari 2002, 23.14