7 Januari 2013

Kisah Lembu Tak Berotak - Firdaus Siagian



Kisah Lembu Tak Berotak - Firdaus Siagian
Pelacur itu terus menari dihadapanku. Meliuk-liuk bagai asap rokok tertiup semilir angin malam itu. Gerakannya merangsang birahiku. Bedebah! Aku tak dapat menghapuskan sosok dirinya dan mereka dari ingatanku. Bahkan aku tak dapat berpikir lagi bagai si lembu tak berotak yang dicocok hidungnya. Dungu!
* * * * *
Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana aku dapat terikat dengan para perumpuan itu, terutama Nanik, dan kehidupan yang aku jalani sekarang. Bukan, bukannya aku tidak tahu, tetapi aku lupa awal mula aku bertekuk lutut dihadapan semuanya itu.
Beberapa bulan yang lampau, entah kapan itu karena aku pun sudah lupa, aku datang ke kota besar ini untuk mengadu nasib peruntunganku. Aku terbuai dengan cerita-cerita orang-orang kampungku yang telah lebih dahulu merantau ke sini. Aku terbuai dengan mimpi-mimpi menjadi kaya, punya rumah mewah, mobil bagus dan pekerjaan yang selalu menuntutku berdasi dan berjas seperti mimpi-mimpi yang ditawarkan sinetron di televisi hitam putih milik Pak Somad, tetanggaku. Aku iri dengan mereka yang jika pulang kampung pada hari raya selalu memakai pakaian yang mewah-mewah dan selalu menghamburkan uang dari kocek mereka seakan-akan kocek mereka adalah telaga yang selalu membual dan tak pernah kering.
Sungguh aku terpesona ketika melihat Nining teman SD-ku dahulu ketika pulang kampung memakai rentetan gelang emas, cincin emas di setiap jarinya dan kalung emas dengan bandul yang sangat mencolok mata. Mentereng sekali dia! Padahal dulu dia bukanlah siapa-siapa, bahkan makan sehari sekali pun keluarganya sangat bersyukur. Atau Rohman, temanku yang sering berenang bersama di kali, setiap pulang dia selalu membawa berkantong-kantong oleh-oleh buat sanak keluarganya di sini. Belum lagi celana jeans-nya yang mengkilap dan kemeja yang masih bau pabrik. Jujur, aku iri dengan mereka. Itulah yang semakin membulatkan tekadku untuk mengadu nasib di kota. Kalau aku kaya dan punya banyak uang seperti mereka, selain kehidupanku berubah, tentulah Emak yang sudah renta dan ringkih tidak usah lagi bekerja keras membanting tulang sekedar untuk hidup hari ini.
Tapi Emak selalu tidak pernah setuju dengan keinginanku pergi ke kota.
“Lebih baik engkau bantu Emak mengurusi sawah Bapakmu”, katanya suatu kali ketika aku minta ijin untuk merantau. Emak memang tidak pernah setuju. Emak tidak pernah mengerti bahwa kepergianku itu sebenarnya juga untuk kebaikannya. Emak selalu mengikatku dengan sawah secuil peninggalan Bapak. Kadang aku kesal juga, mengapa Bapak hanya mewariskan tanah itu pada kami ketika ia meninggal. Bahkan untuk hidup pun takkan mampu tanah itu membiayai kami.


“Tapi Mak, kalau saya berhasil di kota, Emak juga ‘kan yang senang,” aku berusaha membujuk meyakinkan Emak.
“Sudahlah, ngapain juga kamu di sana? Kita tak punya sanak di sana, Burhan. Lebih baik kamu di sini. Masih banyak yang dapat kamu kerjakan di kampung di sini”, jawab Emak acuh tak acuh. Dingin.
“Apa Emak tak bosan hidup begini terus? Miskin terus? Mak, sawah itu takkan pernah dapat menghidupi kita. Malah kita yang diperbudaknya! Malah kita yang justru disuruh menghidupinya!”
“Tutup mulutmu! Andai Bapakmu masih hidup dan mendengar perkataanmu tadi, habis kau dirajamnya!” Emak terlalu mencintai sawah itu seperti ia mencintai Bapak. Sepertinya ia tak dapat lepas dari sawah itu. Mungkin kehangatannya seperti kehangatan Bapak
Dan esok subuhnya aku meninggalkan Emak diam-diam pergi menuju kot
Kalau kupikir-pikir, kadang masalah ingin cepat kaya bukanlah salah satu alasan aku ngotot pergi ke kota. Ada satu daya tarik yang aku tak pernah tahu tentang kota itu. Dan sekarang aku telah menjejakkan kakiku di kota impianku. Begitu asing. Setelah capek berkeliling aku mampir ke sebuah kedai minuman. Disitulah aku bertemu Nanik.
“Halo Tampan, baru pertama kali ke sini, ya? Mukamu lugu. Baru dari kampung ya?” cerocosnya.
“Hmm,” jawabku dingin. Sekenanya.
“Aku Nanik. Rumahku di gang sebelah sana. Kalau kau tak punya tempat berteduh, mampirlah ke rumahku dan menginaplah disana. Tidurlah di tempatku.”
Tawarannya tanpa tedeng aling-aling. Awalnya aku tidak mempedulikannya. Tawarannya bagiku seperti sebuah basa-basi orang kota. Setelah itu, ia terus berceloteh tentang banyak hal. Tentang kota yang keras, tentang pemerintah yang tak becus, tentang lingkungannya yang kumuh, tentang dirinya yang pelacur, tentang banyak hal yang tidak sempat mencantol di kepalaku. Selama aku taruh pantat penatku di bangku kedai itu, ia terus berceloteh. Tak pernah berhenti, walaupun aku biarkan, tak peduli. Entah bagaimana sampai aku akhirnya tersihir olehnya. Dan malam itupun aku bermalam di rumahnya.
Malam kian merangsek kian larut, namun kami tak dapat tertidur. Entah dia yang menikmati aku atau aku pun menikmati dia, malam itu kami bergelut badan. Aroma wangi seronok dari tubuhnya mencocok hidungku bagaikan aku ini adalah lembu tak berotak. Aku biarkan dia bergerak di atas tubuhku. Menari. Menggelinjang. Setelah itu letih. Kosong. Aku tak dapat berpikir
Semenjak saat itu aku tak pernah dapat lepas dari pelacur itu. Kini dia menjadi dewi pelindungku sekaligus penolongku. Dialah yang memberi aku makan, memberi tempat tinggal dan memberi aku pekerjaan. Dari Naniklah aku mengenal Tante Nora, Bu Tyas, Mbak Wati, Zus Maritje, para wanita yang haus akan belaian cinta dan nafsu. Entahlah aku yang diperbudak mereka ataukah aku juga turut menikmatinya, aku tak pernah tahu dan tak ingin tahu. Aku tak dapat berpikir.


Dan semuanya seperti siklus. Setiap akhir hari, setelah aku bergelut badan dengan para wanita kesepian itu, giliran Nanik dan aku. Selalu setiap hari. Seperti suatu siklus kehidupan yang tak pernah berhenti. Entah aku yang selama ini diperbudaknya atau aku yang juga turut menikmati siklus ini, aku tak pernah tahu, sebab aku selalu tak pernah dapat berpikir. Aku sudah seperti lembu tua yang tak berotak yang tak dapat berpikir, bahkan untuk hal yang sepele sekalipun.
Memang terkadang aku teringat akan Emak di kampung. Terbayang tubuh rapuhnya bergelut dengan lumpur bermandikan keringat akibat matahari. Dua tangan keriput yang mengayun pacul. Di pikiran Emak pastilah tentang panenan yang akan dijual kepada tengkulak di desa kami. Sedangkan aku di sini… Aku pun bergelut, namun bukan dengan lumpur. Aku pun bermandikan keringat, namun bukan karena matahari. Tanganku pun terayun, namun tak ada pacul di tanganku. Dan di pikiranku… ah tak ada yang dapat kupikirkan. Kepalaku benar-benar kosong tak berotak.
Semakin lama aku di kota ini, semakin sulit aku melepaskan diri dari cengkeramannya. Semakin sulit aku bebas dari Nanik, si pelacur dewi penolongku. Semakin sulit aku lepas dari pelukan para wanita yang haus nafsu itu. Semakin terlupakan pula mimpi membawa uang banyak ke kampung untuk membahagiakan Emak dan menunjukkan kepadanya bahwa aku mampu mewujudkan impianku semasa di desa.


*****


Bulan demi bulan, semakin aku seperti lembu tak berotak. Terutama di hadapan Nanik. Hari-hariku habis di ranjang. Terkadang terlintas di pikiranku, terlalu naif kalau aku bilang bahwa semua yang kulakukan hanyalah demi uang semata, walaupun sebenarnya aku pun tak dapat berpikir bila aku ditanya apakah aku menikmati setiap permainan ini. Semuanya benar-benar kosong.
Hingga suatu saat aku merasa tubuhku panas meradang. Demam yang tak kunjung berhenti menyinggahiku. Tulang-tulangku serasa menggelontor lepas dari persendian. Dokter yang aku datangi diam-diam tanpa sepengetahuan Nanik, aku takut dia tahu bahwa aku sedang sakit, memvonis bahwa aku mengidap penyakit tak tersembuhkan. Penyakit yang disebabkan virus busuk akibat pekerjaanku selama ini.
Pekerjaan? Benarkah itu adalah pekerjaan? Bukankah aku pun turut menikmatinya juga? Bukankah aku pun turut bernafsu di dalamnya? Bukankah aku pun turut terpuaskan dalam permainan itu? Pekerjaan? Benarkah itu merupakan pekerjaan bagiku?
Aaah, tolong jangan sekarang cecar aku dengan semua itu … Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir. Aku benar-benar seperti lembu tak berotak di hadapan para wanita itu. Bukankah itu adalah suatu pembelaan diri? Ah, jangan tanyai aku lagi dengan hal-hal itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir
*****
Malam ini, pelacur Nanik itu kembali menari di hadapanku. Aku selalu tahu kesudahan dari ritual ini. Ya, ritual, karena itulah yang kami lakukan saban malam. Menari, mendekatiku, mendaki, menjilat, menggelinjang, mendesah, meregang, semua… semua terjadwal dalam pikiranku.
Teringat perkataan dokter siang tadi. Entahlah dari siapa aku mendapat penyakit terkutuk ini. Entahkah dari Nanik, pelacur penolongku, ataukah dari para perempuan brengsek pengejar kehangatan itu. Brengsek? Brengsek, kau bilang? Bukankah engkau yang brengsek itu? Aah, jangan kejar aku lagi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir.
Malam ini, ketika aku bergelut badan dengan Nanik, terbersit pikiran dalam benakku, apakah aku sedang mengembalikan virus itu kepadanya ataukah aku berikan cuma-cuma kepadanya? Besok pun hal yang sama akan aku perbuat dengan para perempuan pengejar nafsu itu.
Dipikiranku saat ini pun terlintas Emak, perempuan renta yang gigih bergelut dengan sawahnya. Terkadang terlintas dipikiranku Emak bergelut di sawah seperti sedang bergelut dengan Bapak. Bergelut untuk mengatasi hidup dengan perjuangan keras. Mungkin takkan pernah aku lihat lagi Emak kesayanganku itu, atau sawah kesayangannya, atau kampung tempat kenangan masa kecilku tersimpan.
Dan kini, di hadapanku, Nanik mulai merangseki tubuhku, mendaki, menjilat, mendesah, menggelinjang… kemudian semuanya kosong. Benar-benar kosong. Si lembu tak berotak ini tak dapat berpikir lagi. Untuk selamanya. Tiba-tiba semuanya kosong. Benar-benar kosong … .
Jatinangor, 20 Januari 2002, 23.14


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar sopan saya segan.

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.